Saturday, October 04, 2008

The Story of Necklace

ada seorang gadis...dia cuma punya 3 kalung di dunia ini, yang sangat berarti bagi hidupnya...
kalung pertama: dari sahabatnya, berbentuk kepala mickey mouse berglitter hitam
kalung kedua: dari ibunya, berwarna hitam dengan bandul salib yang berkilau jika terkena sinar
kalung ketiga: adalah kalung yang sangat sederhana. Yang sepertinya bisa didapatkannya dimana saja. kalung ini diberikan oleh seseorang yang sangat dihargainya. Dihargai hingga hampir setara dengan dia menghargai kakak dan abang kandungnya sendiri, meski orang itu hanya terpaut 2 tahun darinya.
Tadinya ia amat menghargai kalung pemberian orang itu, sebegaimana ia menghargai pemberinya, yang diberikan kepadanya pada saat ia berulang tahun yang ke17. Ia memakainya setiap hari ke sekolah, meski peraturan sekolah tidak membolehkan ia memakai kalung. Orang yang dihargainya itu satu sekolah dengannya, tapi lebih tinggi satu tingkat. Orang itu tahu kalau gadis itu memakai kalung pemberiannya, dan dia senang karena itu.
Sampai pada suatu hari, sang gadis harus menerima kenyataan kalau ia tidak akan bertemu orang yang dihargainya itu. Mengapa? Karena orang itu akan segera lulus dari sekolah.
Sang gadis menyadari bahwa ia tidak hanya menghargai si pemberi kalung. Ia menyadari kalau ia menghargainya lebih dari seorang teman. Sang gadis dilema....
ia merasa senang setiap bertemu dengan si pemberi kalung
ia merasa kesal setiap ad orang lain yang membicarakan si pemberi kalung
ia merasa nyaman apabila sedang berjabat tangan dengannya
ia merasa disayangi apabila si pemberi kalung sedang mengacak2 rambutnya
akhirnya sang gadis sadar, bahwa rasa menghargai ini sudah berubah menjadi sesuatu rasa yang bahan ia tidak berani sebutkan dalam benaknya....

Sekolah gadis itu mengadakan perpisahan untuk kelas 3 pada hari jumat. Semenjak hari sabtu sang gadis sudah begitu bingung, apa yang harus diberikannya pada si pemberi kalung. Kalau masalah harta, ia yakin si pemberi kalung sudah memiliki segalanya.

Setelah memikirkan begitu banyak alternatif hadiah, sang gadis pun berinisiatif untuk memberi si pemberi kalung sebuah lukisan. Lukisan? Ya, sebuah lukisan tangan.

Sang gadis memang bukan seorang pelukis yang handal, oleh karena itu ia berusaha mati-matian untuk menduplikasi fotonya bersama si pemberi kalung-yang kebetulan diambil pada saat mereka sedang menghadiri suatu acara.

Perpisahan kelas 3, artinya sang gadis tidak hanya akan berpisah dengan si pemberi kalung. Ia juga akan berpisah dengan orang-orang lain yang juga dihargai dan disayanginya. Sang gadis menyiapkan beberapa lukisan di kanvas untuk masing-masing orang. Waktu terasa begitu cepat dan pekerjaan terasa begitu gampang saat sang gadis menyelesaikan lukisan untuk orang-orang itu. Sang gadis selalu menunda-nunda untuk memubuat lukisan si pemberi kalung. Hatinya tidak cukup kuat untuk menggoreskan pensilnya di atas kanvas.

Waktu sudah menunjukkan pukul 3.30 pagi. Hingga detik itu sang gadis masih sibuk dengan lukisannya, lukisan berwajahkan lelaki si pemberi kalung. Sebenarnya tangan sang gadis hanya melakukan gerakan-gerakan kecil, akan tetapi pikirannya lah yang sibuk, yang membayangkan, bahwa hanya beberapa jam dari saat itu, lukisan itu akan segera diberikannya, yang artinya pula beberapa jam lagi mereka benar-benar akan berpisah selamanya. Selamanya? Ya. Selamanya. Si pemberi kalung sudah pernah berkata pada sang gadis bahwa ia akan melanjutkan sekolahnya ke negeri tetangga, yang artinya akan sulit bagi mereka untuk berkomunikasi, apalagi bertemu.

Akhirnya lukisan sederhana itu selesai. Karena sang gadis tidak mau teman-temannya mengetahui perihal lukisannya itu, ia menyembunyikan lukisan itu di pinggir jendela, di tempat yang tidak terlihat oleh siapapun. Sang gadis tahu, bahwa si pemberi kalung adalah orang yang cukup tenar dan disukai oleh banyak orang karena tingkah laku dan sikapnya yang baik. Akan menjadi masalah apabila orang-orang tahu bahwa sang gadis sudah menyiapkan lukisan wajah si pemberi kalung.

Keesokan paginya, sang gadis sudah bersiap-siap untuk melakukan latihan acara perpisahan yang akan dilaksanakan sore itu. Sesaat hatinya tergerak untuk melihat lukisan itu sekali lagi, untuk memastikan bahwa kondisi lukisan itu baik-baik saja. Dengan perlahan disibaknya penutup lukisan itu, dan alangkah terkejutnya sang gadis ketika ditemukannya lukisan itu rusak, luntur karena tetesan air yang entah datangnya dari mana. Sang gadis dengan cepat memeriksa lukisan lainnya, untuk orang-orang lain. Tidak ditemukannya sedikitpun kerusakan pada kanvas-kanvas lainnya. Hanya kanvas terakhir yang rusak. Kanvas yang berisikan wajah si pemberi kalung.

Sang gadis hanya bisa menangis dalam keheningan. Ia sangat kesal, marah, dan kecewa. Mengapa ia harus begitu berat mengucapkan sebuah kata perpisahan?

Mengapa ia harus begitu sulit menyatakan perasaan yang sebenarnya?

Mengapa harus lukisan si pemberi kalung yang rusak?

Sang gadis sudah tidak memiliki kanvas lain. Dengan berlinangan air mata, sang gadis berusaha mengurangi kerusakan kalung itu, dengan berbagai cara. Menempelnya dengan foto, melukis bagian ini, menutup bagian itu. Hingga akhirnya lukisan itu kembali terlihat sempurna.

Tentu saja sang gadis memperbaiki lukisan itu dengan tangisan yang hanya bisa ditahannya di dalam hati. Sang gadis sendiri tidak mengetahui,untuk apa sebenarnya dia harus menangis. Sang gadis bukanlah orang yang terbuka dengan semua orang. Bahkan untuk hal perasaan, tak ada satupun yang mengetahui perihal kegelisahannya saat itu. Orang-orang hanya tahu bahwa sang gadis dan si pemberi kalung berteman baik, bersahabat, layaknya seorang adik-kakak. Oleh karena itu, sang gadis tidak ingin teman-temannya curiga. Akan sangat aneh apabila teman-temannya melihat sang gadis membuat hadiah hanya untuk seorang ‘kakak’ hingga fajar menjelang. Sang gadis hanya bisa bertriak dalam hati. Hingga seorang teman sang gadis mengetahui ketidakwajaran sang gadis yang begitu panik saat tahu bahwa lukisan untuk si pemberi kalung rusak. Temannya memaksanya untuk berkata jujur, bahwa ia tidak hanya sekedar menganggap ‘kakak’ pada si pemberi kalung. Sang gadis hanya bisa menggeleng bisu sambil tangannya terus membungkus ulang kado untuk si pemberi kalung. Itu bukan berarti sang gadis mengelak dari pertanyaan temannya itu, sang gadis hanya sangat bingung. Ia tidak tahu apa yang harus ia jawab, karena sang gadis juga hingga detik itu masih belum berani dan masih terlalu gengsi untuk mengakui kata hatinya. Namun, temannya langsung mengetahui jawaban sebenarnya dari sang gadis ketika temannya itu meraih kepala sang gadis ke dalam pelukannya. Air mata sang gadis tumpah ruah. Dalam isakan kecilnya, sang gadis meratap: “Mengapa ini begitu sulit?”

Teman sang gadis yang begitu kasihan pada penderitaan sang gadis memintanya untuk memberitahu kegelisahannya kepada si pemberi kalung. Sang gadis serta-merta menolak. “Mustahil. Aku dan dia hanya kakak dan adik. Tak ada yang dapat kulakukan. Ini terlarang! Aku tidak boleh menyukainya lebih daripada kapasitasku sebagai adik. Siapa aku ini? Adiknya! tidak lebih! Semua orang tahu itu, dan kau harusnya juga tahu.”


Temannya, dengan tidak kalah tegas berkata,”Mulai sore ini kalian bukanlah kakak-adik lagi. Lagipula, kau kan tidak meminta jawaban darinya, kau hanya mengatakan apa yang sebenarnya dari perasaanmu. Tidak masalah dia menyukainya atau tidak. Kalian tidak akan pernah bertemu lagi. Kau tidak akan tahu kapan kalian akan bertemu lagi.”

Sang gadis terpaku dengan ucapan temannya. Ia menyadari bahwa hal ini tidak akan ada segi negatifnya. Ia hanya akan mengutarakan yang sebenarnya. Tidak lebih. Ia tidak akan memohon jawaban. Dengan penuh pertimbangan, sang gadis akhirnya menganggukkan kepalanya dan mulai menuliskan seluruh kata-kata yang berkecamuk di dalam hati dan pikirannya ke dalam selembar kertas berwarna ungu, yang melambangkan dukanya yang begitu mendalam.

Sore harinya, pada saat perpisahan, mata sang gadis berkelana mencari-cari si pemberi kalung. Tapi, ia tidak dapat menemukannya dimanapun. Seluruh lukisan sudah diberikannya kepada orang-orang yang disayanginya, hanya tinggal satu kanvas lagi yang masih tersimpan rapi di dalam tasnya.

Senja pun tiba, dengan hati yang hancur sang gadis mengunci tasnya yang berisi lukisan si pemberi kalung rapat-rapat dan berjalan gontai pulang ke rumahnya, yang memang tidak jauh dari sekolah. Dengan hati yang hancur pula sang gadis mencoba en-dial si pemberi kalung. Maksud hati ingin mengucapkan selamat tinggal, akan tetapi yang keluar dari mulutnya justru,”KAMU JAHAT!”

Sang gadis terpaku dengan apa yang baru saja dikatakannya beberapa detik yang lalu.

Ia menyesal sekaligus lega. Langsung ia matikan teleponnya. Hanya dalam selang beberapa detik, si pemberi kalung tiba-tiba meneleponnya. Karena terlalu takut untuk mendengar suaranya, sang gadis justru me-reject telepon si pemberi kalung.

No comments:

Post a Comment

Feel free to put on your thoughts about my writings :)