Monday, August 05, 2013

Braga Permai

This is my most favorite cafe in Bandung for now! hahahha. Lemme describe you about the condition in this cafe.
Wait, where is Braga Permai? It is in the heart of Braga, Bandung City. If you use cab, just tell him to go to Braga City Walk, stop near Wendy's (next to Braga City Walk), cross the road, turn right. 10-20 steps ahead you will find Braga Permai.
Why I write this article in english? Because almost half guests/customers in Braga Permai are foreigners. I don't know why, maybe this place has been known as 'foreigners comfort zone' for them, or simply because they have many varieties of delicious meals :).

This place is so cozy in evening, especially when you come here at saturday night and choose outside seats. They have their own artists who perform acoustic everlasting songs. Their waiter and waitress are nice and friendly, some of customers here even have called them by names.

About the meals, hmm...all of them are mouth-watering. So far, I've tried these:
Food:
Lava cake
Souffle
Apple pie
Apple tart
Pannacota
Nasi Goreng Ayam, Nasi goreng Iga, Nasi Goreng Salmon
Crispy Duck Noodle
Pumpkin Soup
Aglio Olio
(kind of deep fried breast chicken with sunny side egg, french fries, and saute vegetable, I forgot the name, sorry)
(kind of foil-steamed red snapper with boiled egg and saute vegetable)
assorted kind of ice cream
Beverage:
Virgin Mojito
Green Float
.....(actually I tend to only drink their free-of-charge spring water, hahaha)

For foodies like me, this is such a small heaven. You can find several kinds of food in a place, so you don't have to go to each chinese or western or indonesian restaurant because they have it all. My recommendation...try the lava cake and apple pie for dessert, Nasi Goreng ayam or deep fried breast chicken....(which I forgot the name, just find it by yourself, haha!) for main course. I also recommend virgin mojito for your drink.
If you are a small-takers (the one who eat only a little), consider yourself to share a meal with your pair, because the portion is quite big and enough for 2 common indonesian people.

This place also has alcohol, so if you might want to enjoy Bandung's breeze evening air with a bottle of cold beer, wine, or vodka, you can have them here with a reachable price even for a common asian low-budgeted backpackers.

So, ;let's enjoy Bandung, the Paris van Java, from Braga Permai :)


Tokyo Connection and Pizzalogy Ciwalk

Sore tadi saya dan seorang teman makan di Tokyo Connection Ciwalk, yang terletak di lantai 2 nya Pizzalogy (jadi dlm 1 building ada 2 kafe gitu deh). Konsep keduanya sedikit beda, Pizzalogy lebih ke arah anak muda 15-20 th, nongkrong with the gank sambil rame2 makan pizza dan main kayanya adalah konsep yang 'terbaca' dari Pizzalogy. Tapi konsepnya agak beda begitu naik ke lantai 2. Tegel putih berubah jadi warna hitam, seakan ingin menunjukkan sisi 'glam', 'classy', dan 'tenang'. Emang bener, suasana di Tokyo Connection memang adem ayem dan lapang, dengan jendela yang dibuka lebar2, cermin gede di beberapa spot, lampu kuning, lilin, serta furniture kayu dan besi yang berwarna bold. Kayanya sih pangsa pasarnya 20 th ke atas dan family ya. Musik yang dipasang pun lumayan cozy dan ga hirukpikuk. Jadi tempat ini cukup pas untuk meeting semi formal, ngobrol semi nyantai, atau sekedar menyepi sambil baca buku.

Oke, tentang makanannya...saya nyobain:

dari tokyo connection
1. Chicken karrage curry -35k-
2. Beef teriyaki -35k-
3. Ice lemon tea -12k-
4. Green tea...(lupa namanya, pokoknya semacam frappe/blended grean tea with caramel and whipped cream topping deh). -harga lupa, 25k kl ga salah-
Overall makanannya standar, agak kecewa karena portioning nya kecil alias dikit banget. Mungkin ini karena harganya termasuk murah untuk cafe dgn interior yang furniture dan maintenance nya pasti ga murah. Rasanya juga kurang berkesan dan memorable, kurang otentik sebagai curry dan teriyaki. Untuk minumannya, ice lemon tea nya lumayan worth to buy, soalnya gelasnya gede, jadi abisnya lama hahaha. Untuk grean tea frappe nya, standar frappe dgn penampilan yang lumayan cantik.
Conclusion: Tempat ini asik buat nongkrong abis pulang kantor, sekedar baca buku, buat bikin meeting semi formal atau ngomongin proyek, nge-date yang rada classy, atau sekedar family time sore2 abis pegel keliling ciwalk. Buat minum, worth to buy deh. Harga dan yg disajikan setimbang. Tapiii kalo kalian lagi laper banget dan pengen makan banyak, hmm tempat ini kurang disarankan sama saya....

dari pizzalogy
Beef calzone -30k-
Rasa beef nya ga kerasa -_-, banyakan tomat sama bawang bombay. Calzone nya pun kempes dan dough roti pizza nya kerasa bgt masih undercooked. Yah 30 ribu doang sih...tapi mending harga naik dikit tapi kualitas bersaing kan -_-, soalnya saya pernah nyobain calzone di tempat lain yang harganya ga jauh beda tapi rasanya jauuh lebih enak.
Conclusion: buat anak2 SMP, SMA, atau kuliah tingkat 1-2, bolehlah buat kongkow2 disini sama temen2 se-gank, sambil main kartu atau ngegosip atau bahkan ngeceng (hahahaha), soalnya harganya lumayan bisa dijangkau untuk sekelas pizza di mall.

Friday, August 02, 2013

Swallow the ego and put aside the shame for your better relationship!

Beberapa hari yang lalu, saya berantem dengan kekasih saya yang terkasih. yang parah, sampe terucap kalimat "kita putus aja" dari saya. waduuhh.
berhari-hari kemarin, tiap bangun pagi, rasanya sedih campur kesel karena aku ga bisa nge-bbm/WA: 'selamat pagiii' . Hati pengen, tapi logika dan ego menolak mentah-mentah.
berhari-hari kemarin, hampir setiap detik (kalau ga lagi terdistraksi sama bayar ongkos angkot, jawab telepon, atau balas email) saya tanya jawab sama diri saya sendiri. Kamu siap ga sendiri? oh siap dong, temen gw banyak. Kira-kira ada yang bakal pacarin kamu ga abis ini? ada lah, aku ga jelek2 amat kok. Kamu tega ga dia TA nya kacau balau gara2 kamu putusin? Engga sih, tapi masa sih dia bakal kaya gitu, engga deh kayanya. dan 1 pertanyaan yang ga bisa kusangkal, Kamu ikhlas ga menyaksikan kalo dia punya orang lain, yang buat dia bahkan lupa dgn keberadaanmu karena ada orang itu di dekatnya? Enggak, hem tapi mungkin butuh waktu kali ya. Brapa lama untuk bisa ikhlas? hell yeah, tapi mungkin Seumur hidup.
itu tuh semua yang muter-muter di kepala saya. sampai pada suatu titik dimana saya kesal sama diri saya sendiri. kenapa saya ga bisa jadi orang yang selalu bisa bikin dia senyum dan bukannya kesal seminggu sekali, kenapa saya ga bisa punya kapasitas sabar yang lebih besar buat dia, kenapa saya ga bisa jadi cerminan Amsal 31 buat dia? kesal. entah impuls emosi sebelah mana yang bikin saya menarik kesimpulan bahwa: mendingan dia sama yang lain aja, yang siapa tau bisa bikin dia lebih bahagia.
itulah kenapa hari itu saya dengan bodohnya pengen menyudahi aja semuanya. karena egois saya yang ga rela untuk lebih lama dibikin kesal, dibikin nunggu, dibikin gondok karena dia yang suka ketiduran, dibikin nangis krn gatau mesti bilang apa tiap kami berantem.
tapi setelah banyak membaca buku dan cerita ke seorang kakak, saya jadi sadar kalo kami punya ego yang sama-sama tinggi. Ego dia tinggi, itu kelihatan dari sifatnya yang 'anti-mengejar', susah buat narik kalimat sendiri kalo ga sengaja keucap, dan gengsi buat ngehubungin duluan tiap abis berantem. saya pun begitu, sebelas-duabelas.
cuma saya diingatkan kalau kita memang benar-benar menyayangi sesuatu/seseorang, kita akan mampu menurunkan ego kita demi mendapatkan yang kita inginkan. contoh? orang yang nge-fans sama pemain bola atau boyband, rela bajunya dicoretin spidol atau telanjang dada biar badannya ditandatangani oleh tokoh idamannya. atau kalau back to Bible, Tuhan Yesus saking sayangnya sama salah satu jenis ciptaannya, yaitu Manusia, dia menurunkan drastis ego nya dgn menjadi manusia yang mortal, yang miskin, dan yang punya nasib untuk mati dengan cara yg paling hina saat itu.
makanya akhirnya saya ajak dia ketemuan. susah banget waktu itu ngetik BBM buat ngajaknya loh. selain itu, sebelum ketemuan pun, saya jadi rutin ucapin selamat pagi, semangat TAnya, jangan lupa makan, dll dll. itu semua adalah manifesto dari saya menekan ego saya dalam-dalam. Sulit banget rasanya, kayak perang sama diri sendiri.
waktu ketemuan di suatu kafe, kalo ngikutin hati, saya cuma pengen bilang: "aku ga mau putus, udahan yuk marahnya, aku sayang sama kamu, maafin aku kmrn khilaf bilang putus." tapi si ego yg masih rada tinggi dan logika (ini nih resiko jadi cewek yang dididik di ITB, logika nya berkembang jauh dibandingkan cewek2 unpad) membuat saya jadi ngomong muter2 dan ga jelas. sampai pada suatu ketika dimana pas kami makan banana split (untung jadi kupesen! dia salah satu item penyelamat hubungan kami), dia nanya: jadi kamu ini siapaku? jadi aku ini siapamu? di sana saya baru sadar... mungkin susah banget buat dia yg udah saya 'putus'in lewat telepon untuk saya ajak ketemuan tatap muka mungkin dia masih ga terima dengan kebodohan saya, tapi toh dia masih bisa becanda sama saya dan bukannya kabur ninggalin saya. mungkin dia juga sudah lebih dulu menelan ego dan gengsi dia dengan duduk di kafe itu, pesan cokelat mint dan makan es krim sharing sama orang yang 3 hari sebelumnya (mungkin) bikin kepala dia perang dunia ke III.
di momentum itu, saya sadar betapa egois saya sama dia. betapa banyak hal2 yang dia lakukan kuanggap sepele, pdhl sebenarnya dia juga udah susah payah ngelakuinnya buat saya. di momentum itu juga, aku berpikir, this is now or never. I swallow my ego, put aside my shame, and control my voice by saying: "aku pacarmu, kamu pacarku."
dan masalah ternyata bisa selesai dengan sendirinya.
saya belajar banyak dari berantem kami kemarin.
saya belajar bahwa begitu banyak hal yang selama ini dia lakukan yang kurang saya apresiasi, atau bahkan saya anggap remeh. Saya terlalu berkutat untuk mengitung hal jeleknya. Saya menyesal, dan mulai kemarin saya belajar untuk memaknai setiap hal baik yang terjadi pada kita. Saya belajar bahwa cinta bisa bikin seseorang ga peduli akan eksistensi / egoisme dirinya. Saya belajar bahwa lebih banyak saya melepaskan (melepaskan keinginan untuk di'kejar', diajak baikan duluan, serta melepaskan keinginan untuk marah-marah dan menyalahkan keadaan) justru membuat saya menerima lebih banyak hal baik.
terima kasih udah mau bersama saya 3 tahun 11 bulan 27 hari ini. terima kasih sudah menerima kebodohan-kebodohan saya dan menjadi samsak untuk kemarahan saya. terima kasih sudah membuat saya belajar banyak hal untuk nantinya semoga bisa jadi wanita seperti di amsal 31. terima kasih untuk bisa membuat saya merasa berarti.
tetap berjalan bersama ya Bang.

Membuat Surat Bebas Narkoba

Jadi, karena kepentingan untuk melamar pekerjaan di suatu BUMN, saya harus membuat surat keterangan bebas narkoba. Saya pun  tanya kanan kiri depan belakang tentang gimana caranya buat surat itu. Dulu, duluuu sekali waktu jaman SMP, saya juga udah pernah bikin surat semacam ini, buat tes masuk TN. Tapi memori saya tentang administratif pengurusannya entah kenapa hilang lang lang! mungkin karena dulu semua udah diurusin sama Papa kali ya, jadi saya tinggal ikutin dokter aja diperiksa ini itu anu.

Akhirnya saya tahu, kalau mau ngurus surat keterangan bebas narkoba itu lokasinya di Polwiltabes / Kantor Kepolisian Pusat di Povinsi. Kalo di Bandung, lokasinya di seberangnya gereja katedral...di jalan Jawa. Begitu saya masuk ke poliklinik tempat membuat surat, saya bertemu dengan seorang dokter. Beginilah kira-kira percakapannya.
Dokter (D): Ya ada apa?
Saya (S): mau bikin surat bebas narkoba, Dok. Bisa?
D: oh bisa, tapi syarat2 nya udah dibawa?
S: hah, syarat apa dok?
D: pas foto 4x6, fotokopi ktp, dan....uang administrasi Rp 150.000,00
S: (masih polos) oh saya bawa dok. (untung aja kebiasaan bawa pas foto dan fotokopi KTP kemana2, jadi aman. Tentang duit, untung baru ambil di ATM, niatnya sih buat makan....)
D: oh bentar ya....
trus si dokter manggil2 seorang wanita yang berbaju polisi. Dari yang saya liat, mbak2 cantik berbaju polisi itu ga mungkin dokter, ga mungkin pernah pendidikan jadi perawat, ataupun pendidikan profesional untuk kesehatan lainnya. Kenapa? Nanti prediksi saya terbukti di bawah.

Syarat-syarat administratif itu lalu saya berikan ke mbak polisi. Saya kemudian diberi tabung untuk wadah urine.
S: Toiletnya dimana bu?
Mbak polisi (P): oh di luar ada
whaaat? poliklinik kepolisian tingkat provinsi ga punya toilet sendiri?
saya pun keluar dan setelah nanya-nanya sama orang di luar 'toilet dimana?', saya nemu plang "toilet umum" yang lokasinya nyempil di belakang sebuah warung.
emang polisi se-nggak ada duit itu ya buat instalasi toilet gratis buat masyarakat yg dtg? sampe mesti nyari objekan bikin toilet umum?
kesabaran saya masih dalam batas.

Setelah dari toilet dan menyerahkan sampel urine ke mbak polisi, saya pun ditensi. Nah dari sini saya bisa lihat kalau si mbak polisi ini kayanya cuma seorang mbak polisi biasa yang di training singkat oleh dokternya biar bisa tensi. Mungkin krn masih amatir, keliatan banget kikuknya saat pasang dan ngukur tensi saya. Tapi ya udahlah. Masih bisa sabar.

Ternyata surat itu baru akan selesai dalam 2 hari. Pas pulang, saya baru nyadar....biasanya kan kalo ada biaya administratif, bukti administratif nya juga harus ada dong. ya ga sih? misal kamu cetak foto, transfer duit, beli makan di mcd, atau pijet di spa, pasti ada bon/struk nya kan? kalo belanja di warung yg cuma 10 ribuan mungkin ga masalah, tapi ini 150000 loh! ga kecil....dan knapa ga ada kuitansi atau apa ya? emang se-nggak ada duit itu ya polisi sampe beli kuitansi aja ga bisa...

2 hari kemudian saya datang ke kantor yang sama. Kali ini sama pacar saya.
S: Bu, surat saya udah jadi? atas nama Rinna
P: Oh udah nih. Mau dilegalisir? Kalo iya, fotokopi dulu di depan. baru ntar dicap disini.
S: oke bu.
saya pergi ke tukang fotokopian di luar (lagi2 di luar! apa mahalnya sih invest dan maintenance printer-scanner-copier dan kertas di dalam poliklinik?). Dan, asal kalian tau...jangan pernah fotokopi di tukang fotokopi dalam daerah polwiltabes! masa 1 lembar 500? di kampus saya, 500 bisa buat 5 lembar. Omaigat!!

Ketabahan saya akan bayar ini itu anu udah mulai habis. Pas saya menyerahkan fotokopian buat di cap, saya langsung nanya frontal.
S: bu, ini saya ngecap-ngecap nanti kena bayar lagi ga?
P: oh engga kok dek (sambil senyamsenyum)
S: oh bagus deh bu, soalnya disini apa-apa bayar, trus mahal ga kira-kira lagi. (sambil ngeloyor ke bangku yang disediakan).

Finally, surat saya beres. Fiiuuh. Rasanya ga pengen berurusan di sana lagi. Begitu banyak kritik dan hal-hal yang menurut saya tidak logis ingin dimuntahkan. Tapi daripada saya dipenjara gara2 pencemaran nama baik? mending saya cerita ke temen2 deket saya aja, di blog terlalu riskan kali ya :).

Yang pasti, saya jadi makin semangat untuk bisa suatu hari masuk ke lingkup birokrasi negara ini, biar saya bisa membenahi wilayah yang bisa saya 'sentuh', dan menyentil orang-orang lain agar membenahi wilayah yang tidak bisa saya 'sentuh'. Semoga sampai suatu saat itu tiba, otak saya masih waras, masih idealis, masih berjiwa muda, dan masih ikhlas untuk memajukan kepentingan umum daripada kepentigan pribadi/partai, hahahaha. PPKN banget ya, tapi udah ga banyak loh bapak2 birokrat di atas yang menerapkan ini.

Cheers!

Friday, July 05, 2013

Tasty Low Cal Supper: Grilled Cheese Sandwich

Haii, lagi musim hujan begini rasanya malas sekali ya keluar kamar untuk beli makan.
Makan mie instan? ooo, bukan solusi...
kali ini saya punya resep mudah untuk makan malam, yang bergizi, berserat, dan yummy :).

kalori: 315 kal (or less, if you use less cheese or low fat cheese)

bahan:
keju cheddar 1/8 bagian, diserut
roti tawar gandum 2 lembar

Cara membuat:
panaskan teflon, grill roti gandum sambil ditekan2 sampai agak kecoklatan, angkat
beri keju di salah satu bagian roti, taburkan merata
tangkupkan roti, lalu grill pan lagi sambil ditekan2 sampai roti menjadi tipis, coklat, dan crunchy (kering)
angkat lalu sajikan saat panas.



Tuesday, July 02, 2013

Healthy lifestyle starts now!

Menyadari usia saya yang udah 22 (eugh, tua ya heuheu), saya mulai concern sama kesehatan saya. Dalam suatu bacaan, saya menemukan info bahwa seorang wanita akan kehilangan paling tidak 30% dari massa ototnya sejak usia 30 th. kehilangan massa otot ini akan berakibat besar dengan semakin mudahnya tubuh menggendut. Mengapa? Karena kalori berlebih dari makanan nantinya akan lebih banyak disimpan di jaringan lemak daripada di jaringan otot yang semakin berkurang seiring dengan bertambahnya usia.

Wow, fakta itu mengejutkan saya. Karena itu, saya sekarang mulai concern dengan kondisi fisik saya. Saya punya 8 tahun lagi untuk menambah massa otot dan memangkas massa lemak. Saya pun memutuskan untuk memulai gaya hidup sehat dari sekarang juga.

Gaya hidup sehat saya mulai dengan cara memilah jenis makanan yang saya konsumsi. Jika memasak sendiri, saya berhenti menggunakan minyak kelapa sawit, mentega, garam, dan penyedap. Saya memilih menggunakan olive oil dan seasoning se-natural mungkin (karena katanya kadar sodium yang tinggi dalam tubuh bisa memacu obesitas loh). Saya menghentikan kebiasaan makan-makanan yang digoreng. Saya yang dulunya sangat doyan makan mie ayam dan nasi goreng, mulai membatasi diri mengkonsumsi karbohidrat. Saya memperbanyak mengkonsumsi sayuran dan protein. Teh hijau selalu menjadi minuman sehari-hari saya.

Selain makanan, saya juga mengusahakan berolahraga paling tidak 3 kali seminggu. Olahraganya bervariasi, tergantung mood saya..bisa renang, jogging, atau fitness.

Saat ini saya masih baru menjalankan niat saya ini. Semoga bisa terus bertahan dan meningkat ya. Hehe.

Sunday, June 30, 2013

Resep Puding Roti Kukus Rendah Kalori

Sebagai anak kost yang tinggal sendiri, kadang suka sayang kalo ada makanan yang kebuang. Biasanya sih yang selalu ga habis saya makan itu roti tawar, soalnya jumlahnya banyak bgt, ga sanggup ngehabisin sendiri. Daripada dibuang krn expired, saya puter otak buat memanfaatkan roti ini. Search  sana sini, ketemu deh resep puding roti kukus! sederhana banget...bisa pake rice cooker aja buat masaknya (soalnya ga ada kukusan sih) hehehe.

Resep ini sebelumnya saya modifikasi sehingga jadi lebih sehat (rendah lemak dan gula hehehehe)

Bahan:
Roti tawar, 5 lembar, sobek-sobek
Susu low fat 700 ml (bisa juga pakai susu skim bubuk yang dilarutkan ke air)
2 butir telur ayam, kocok lepas
1/2 sendok teh vanili (optional sih, kalo ga ada ya gapapa...kan udah ada aroma dari susu nya :))
1/2 sendok teh bubuk kayu manis (ini juga optional, kebetulan saya punya, jadi pake aja hehe)
125 gr gula semut (bisa juga pakai gula merah atau gula rendah kalori dengan jumlah yang disesuaikan)
100 gr margarin (sekitar 3 sendok makan), cairkan
50 gr keju cheddar, parut
5 buah strawberry, potong2, rendam dalam larutan air madu

Cara membuat:
Campur susu, telur, vanili, kayu manis, dan gula sampai semua larut sempurna. Masukkan potongan roti hingga semuanya terendam. Tambahkan margarin cair dan  strawberry, lalu aduk lagi hingga rata.
Taruh adonan dalam wadah (bisa mangkuk atau cetakan atau aluminium foil) yang sudah dioles margarin, beri keju parut diatasnya, lalu kukus hingga matang.

Selesai :).

Thursday, June 20, 2013

Dr. Tatang Hernas: Subsidi BBM, Memperlancar atau Merusak Pembangunan Indonesia?

Subsidi BBM, Memperlancar atau Merusak Pembangunan Bangsa Indonesia?

Tulisan ini saya copas dari seorang alumni TK-ITB yang mendapatkan tulisan di bawah dari penulis langung. Sebagai info penulis adalah seorang Dosen di jurusan saya, teknik kimia ITB.


Selamat membaca. 

===================

Rekan-rekan di BKK-PII, 

Terlampir adalah tulisan saya yang berjudul "Subsidi BBM : Memperlancar atau merusak pembangunan bangsa Indonesia?". 

Minggu sore tanggal 26 Mei lalu, tulisan itu saya kirim via email ke Redaktur Opini Harian Kompas dengan permohonan agar dapat dipertimbangkan untuk dimuat dalam Rubrik Opini harian tersebut. Karena tak ada berita, tetapi juga nggak dimuat, hari Minggu tg 2 Juni saya mengirim email lagi kepada Redaktur Opini, menanyakan apakah tulisan tersebut telah diterima dan apakah telah dipertimbangkan untuk bisa/tidak-bisa dimuat dalam Rubrik Opini. 

Dua hari kemudian, Selasa tg 4 Juni, saya menerima jawaban bahwa tulisan tersebut tak dapat dimuat dengan pertimbangan "topik yang sama telah ada yang membahas sebelumnya" (walaupun saya yakin betul bahwa belum ada yang isinya seperti tulisan saya tersebut). Saya balas email dengan menyatakan bahwa saya cukup lapang, karena dengan demikian tulisan itu bisa saya kirim ke koran lain. 

Hari Rabu pagi tanggal 5 Juni, tulisan tersebut saya kirim ke Redaktur Pendapat Koran Tempo (yang menurut beberapa teman biasanya mau memuat tulisan yang bernada 'keras') untuk dipertimmbangkan bisa-tidaknya dimuat dalam Rubrik Pendapat koran tersebut. Karena juga tak ada berita tapi nggak dimuat, Selasa tg 14 Juni lalu saya mengirim email lagi ke Redaktur Pendapat, menanyakan tulisan tersebut. Karena tak juga mendapat jawaban, tadi pagi saya mengirim email lagi ke Redaktur Pendapat, menyatakan bahwa saya menarik kembali tulisan tersebut karena akan saya edarkan melalui media lain, antara lain mailing list BKK-PII ini. 

Mudah-mudahan rekan-rekan sekalian berkenan membaca tulisan saya terlampir itu dan mengomentarinya, dalam rangka mengupayakan perbaikan perjalanan pembangunan manusia dan bangsa Indonesia. 

Salam sejawat. 

Tatang

-------------------------- 

Subsidi BBM 
Memperlancar atau merusak pembangunan bangsa Indonesia?.


Oleh TATANG HERNAS SOERAWIDJAJA 

Data yang disajikan oleh Ditjen Anggaran KemenKeu (http://www.anggaran.depkeu.go.id/dja/acontent/ DataPokokAPBN202013.pdf) menunjukkan bahwa paling sedikitnya sejak tahun 2007, subsidi bahan bakar minyak (BBM) selalu merupakan pengeluaran amat besar negara ini. Bahkan dalam 4 tahun terakhir, subsidi BBM menjadi pengeluaran tunggal terbesar; jauh lebih besar dari pengeluaran untuk subsidi-subsidi lain dan belanja dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan maupun Kementerian Pekerjaan Umum. Oleh karena ini, sudah sepatutnyalah bangsa Indonesia mengkaji cermat, berdasar pertimbangan non-politik, apakah subsidi BBM masih layak dilakukan dan memang bermanfaat bagi pembangunan manusia Indonesia. 

Subsidi BBM sudah salah kaprah 

Menurut definisi OECD (Organization for Economic Cooperation and Development), WTO (World Trade Organization), maupun buku-buku ajar ilmu ekonomi, subsidi adalah kontribusi finansial dari pemerintah atau badan publik yang diberikan kepada produsen atau konsumen untuk membuat suatu barang atau layanan tersedia pada harga di bawah harga pasar yang normal. Tujuan-tujuan pemberian subsidi yang disebut WTO sebagai “wajar/pantas untuk dilakukan” adalah paling sedikitnya salah satu dari : Pengembangan industri; Mendorong inovasi dan kemunculan national champions; Perlindungan lingkungan; Ketahanan nasional; Pelestarian kebudayaan dan warisan budaya; Mempertahankan karakter multifungsi dari pertanian; dan Redistribusi pendapatan (meliputi : mendorong kemajuan daerah tertentu, membantu industri yang sedang kesulitan, dan kewajiban pelayanan publik). 

Telaahan awal menunjukkan bahwa subsidi BBM yang dilakukan pemerintah Indonesia tampaknya hanya bisa sesuai dengan kategori tujuan “Ketahanan nasional” (dalam bidang energi) dan “Kewajiban pelayanan publik”. Akan tetapi, bahkan WTO sekalipun menegaskan bahwa subsidi untuk tujuan ketahanan nasional diberikan kepada barang produksi dalam negeri untuk mewujudkan tingkat produksi domestik yang menjamin ketahanan nasional dalam bidang yang dimaksud. Padahal, sebagian besar BBM yang dikonsumsi di dalam negeri kita dewasa ini bukanlah produksi dalam negeri, melainkan barang impor. WTO juga menyatakan bahwa untuk tujuan kewajiban pelayanan publik, pelaksanaan pemberian subsidi harus menjamin bahwa penerima manfaat yang dikehendaki sama dengan penerima manfaat pada kenyataan sebenarnya, dan umumnya hanya diberikan pada barang/layanan yang takaran konsumsi normalnya mudah dikendalikan (seperti air, listrik, telekomunikasi). Padahal, cara penjualan terbuka di SPBU-SPBU membuat konsumsi BBM oleh masing-masing pembeli tak bisa dijaga selalu berada pada tingkat yang normal dan, sebagaimana sudah diungkap oleh berbagai sumber yang layak dipercaya, sekitar 85 % dari dana subsidi BBM diterima mereka-mereka yang tak berhak. Kini, subsidi BBM malah sebenarnya sudah beralih fungsi menjadi ‘insentif pemborosan” oleh pemilik-pemilik kendaraan pribadi yang umumnya adalah golongan menengah ke atas. Jadi, jelas bahwa subsidi BBM yang masih dilakukan pemerintah Indonesia sampai sekarang sebenarnya sudah salah kaprah, karena tak mencapai tujuan yang hakiki, malahan membuat porsi yang sangat besar dari anggaran negara terbuang percuma. 

Mendorong penyelewengan 

Sebagaimana tersaji pada tabel (yang merupakan bagian dari tulisan ini), harga solar dan premium di Indonesia sudah satu dekade lebih merupakan yang terendah di ASEAN. Pada tahun-tahun terakhir, harga di Brunei memang lebih rendah dari di Indonesia, tetapi ini dapat difahami, karena Brunei masih merupakan eksportir netto minyak bumi dan volume ekspornya lebih besar dari volume pemakaian domestik. Penting juga untuk dicatat bahwa harga solar dan premium di Indonesia bahkan tak lebih tinggi daripada di Uni Emirat Arab (UEA), yang merupakan eksportir besar minyak bumi. 

Perbedaan harga solar dan premium yang besar antara di dalam negeri dan di negara-negara tetangga sangat berpotensi memicu penyelewengan. Penyelundupan ke luar negeri terhadap solar dan premium yang ada di dalam negeri bisa dilakukan oleh siapa saja yang bernurani jahat. Lebih dahsyat lagi efek perusakannya adalah kejahatan koruptif yang hanya bisa dilakukan oleh pihak-pihak yang dekat dengan pusat kekuasaan atau yang berpengaruh kuat dalam politik. Yang ini biasanya tak terpikirkan oleh para mahasiwa yang polos dan kelompok-kelompok awam lainnya. Sebagai contoh : Satu tanker solar atau premium yang baru diimpor dengan harga normal (sekitar 100 US cent/liter) dan masih dalam perjalanan di kapal (katakanlah dibeli dari Singapura dan sudah berada di Selat Karimata) dibeli dengan harga subsidi (Rp4500 atau sekitar 47 US cent/liter). Dana subsidi diurus di level tinggi di Jakarta sehingga seolah-olah BBM tersebut sudah sampai ke dan dikonsumsi masyarakat. Satu tanker BBM tersebut kemudian dijual lagi ke luar negeri dengan harga, katakanlah, Rp7500/liter. Melalui kejahatan koruptif ini, maka pihak pelaku akan mendapatkan dana besar yang tidak hanya membuatnya jadi sangat kaya-raya, melainkan juga memungkinkannya mencengkeram kekuasaan negara melalui pembiayaan kampanye partai politik atau calon-calon potensial pemimpin negeri. 

Demi mencegah penyelewangan-penyelewengan yang dicontohkan di atas, maka jika pun tak dihapuskan sama sekali, subsidi BBM perlu dikurangi agar membuat perbedaan harga di dalam negeri dan di negara-negara tetangga (atau dengan harga pasar yang normal) tidak besar. 

Perbandingan harga BBM, dari tahun 1998 s/d 2012, di negara-negara ASEAN dan Uni Emirat Arab.


Sumber : GIZ, “International Fuel Prices 2010/2011, 7th Edition, “International Fuel Prices 2012/2013”, Data Preview April 2013.

Berujung rendahnya daya beli rakyat 
Karena bahan bakar alias energi adalah kebutuhan primer masyarakat, harga BBM yang sangat murah dalam jangka waktu lama pada akhirnya akan berakibat rendahnya daya beli kebanyakan rakyat kita. Merujuk pada data riwayat harga yang tersaji di dalam tabel, maka lambat laun daya beli kebanyakan rakyat Indonesia akan terperosok menjadi yang paling rendah di ASEAN. Jika supir taksi di Singapura bisa berlibur ke Jakarta; kapan supir taksi di Jakarta bisa berlibur ke Singapura?. 

Sesungguhnya, salah satu kewajiban para pucuk pimpinan negara maupun partai politik adalah meningkatkan daya beli kebanyakan rakyat kita, supaya akhirnya tak kalah dari negara-negara tetangga (atau bahkan negara mana pun di dunia!). Penegasan pemimpin-pemimpin politik negeri ini yang menolak kenaikan harga BBM sebenarnya menimbulkan pertanyaan : ” Betulkah para pemimpin kita, terutama para politisi, tidak tahu/sadar akan kewajibannya itu? Ataukah mereka hanya belaga pilon demi berebut kekuasaan?”. 

Bak memberi beasiswa kepada yang sudah akan purnabakti 

Karena minyak bumi dan bahan bakar fosil lainnya tidak hanya kian langka dan mahal, tetapi juga berdampak buruk pada lingkungan, maka kecenderungan global di awal abad ke-21 ini adalah pergeseran pemanfaatan sumber primer energi, dari bahan bakar fosil ke sumber-sumber terbarukan. Oleh karenanya, status BBM di dalam dunia perniagaan dan pemanfaatan energi sekarang ini adalah seperti status matahari di jam setengah satu siang : masih berjaya (alias bersinar terang dan kuat) tetapi sedang menggelincir pelahan ke arah terbenam (alias purna-bakti). Dengan demikian, tak kunjung henti mensubsidi BBM sambil tak memberi perhatian dan insentif layak kepada pengembangan industri bahan bakar nabati (BBN) serta energi terbarukan lain adalah ibarat memberi beasiswa pada warganegara berumur 50 tahun ke atas (yang hampir habis masa bakti) agar terus dapat bersaing di dunia kerja, tetapi tak memberi beasiswa apapun kepada mereka yang berusia 25 tahun ke bawah (yang akan menggantikan generasi tuanya). Ini tentu saja merupakan falsafah regenerasi dan pembangunan ekonomi yang keliru dari sebuah bangsa !. 

Merujuk pada uraian di atas ini pertanyaan yang sama kembali muncul : “Betulkah para pemimpin kita, terutama para politisi, tidak tahu/sadar terhadap kekeliruan ini?. Ataukah mereka hanya belaga pilon demi berebut kekuasaan?”. 

Melestarikan kekeliruan pemahaman dan tuntutan para kawula muda 

Di negara ini, setiap kali tersiar kabar bahwa pemerintah akan menaikkan harga BBM bersubsidi, maka di berbagai kota terjadi demonstrasi-demonstrasi mahasiswa dan para pemuda yang menolak kenaikan tersebut dengan alasan rakyat masih miskin. Sesungguhnya, pernyataan “menolak kenaikan harga BBM bersubsidi” merepresentasikan mental pengemis : “nggak apa-apa kami dan rakyat tetap miskin, murahkan saja harga BBM-nya”. Ini adalah tuntutan sebuah kelompok masyarakat yang anti-kemajuan!. Kelompok masyarakat yang ingin maju dan bersikap positif terhadap kemajuan, sadar bahwa harga (minyak mentah dunia) terbentuk oleh keseimbangan antara pasokan dan permintaan!. Jangankan presiden Indonesia, presiden Amerika Serikat saja tak mampu mengatur harga internasional minyak bumi. Jadi, yang dituntut oleh para kawula muda (mahasiswa dan pemuda) yang pro-kemajuan bukanlah “jangan naikan harga BBM bersubsidi”, melainkan : “Pemerintah boleh menaikkan harga BBM, tetapi (1) naikkan gaji pegawai negeri, terutama golongan bawah; (2) sesuaikan upah buruh; dan (3) naikkan harga pembelian gabah dan produk-produk hortikultura para petani; agar kelompok-kelompok masyarakat tersebut tetap dapat membeli BBM.” 

Semoga saja banyak kawula-kawula muda Indonesia berkesempatan membaca uraian di atas dan kemudian berubah sikap. Mereka harus sadar bahwa demonstrasi demi demonstrasi menentang kenaikan harga BBM sesungguhnya tidaklah merepresentasikan pembelaan terhadap rakyat kecil, malahan secara pelahan menghantar rakyat kita (dan mereka sendiri) ke jurang kenistaan. Kesadaran ini akan membuat mereka tak mudah dimanfaatkan demi kepentingan sesat para politisi maupun importir BBM. 

Penutup 

Uraian di atas kiranya cukup menegaskan bahwa subsidi BBM, yang sampai sekarang masih terus dijalankan pemerintah Indonesia, tidak hanya sudah salah kaprah dan merupakan penghamburan sia-sia anggaran negara (alias uang rakyat), melainkan juga berdampak buruk pada pembangunan karakter aneka kelompok bangsa Indonesia. Oleh karena ini, subsidi BBM harus dalam jangka waktu yang tak terlalu lama, secara terencana dihapuskan dan dampak buruknya yang sudah terlanjur melekat pada karakter manusia-manusia Indonesia harus kita tanggulangi. 

Penulis adalah dosen Program Studi Teknik Kimia ITB, anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (Komisi Ilmu Rekayasa), anggota Dewan Riset Nasional (Komisi Energi), Ketua Ikatan Ahli Bioenergi Indonesia (IKABI), Wakil Ketua Dewan Pakar Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI), dan anggota Dewan Penasehat Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (APROBI). 
============== 

Semoga dapat menjadi pembanding di tengah arus "populis" yang kurang dalam mengkaji penolakan kenaikan harga BBM. 


Untuk Tuhan, bangsa, dan almamater,

merdeka! 

Monday, June 10, 2013

So, I'm 22 now....

Thanks God for all great excitements in age 21.
Thanks for all smiles, tears, anger, and happiness. Thanks for all nice people You present to me out there who are still hold my hand and pat my head whenever I need them.
Thanks for the presence of my parents to see me grow since 21 years ago.
Thanks for all conditions You wanted me to face.
without You, who am I, God.

I will be very honored if You bless my upcoming days ahead while I am having label "a 22 year old Santi". 

You, and only You Thy know my feelings; my true happiness, my hidden tears, and my deepest worries. 
So shape me, process me, train me, to be what You want me to be.

Thursday, May 09, 2013

Wonderful Mom

"Do you ever feel, like a plastic bag….drifting through the wind….wanting to start again….”
Seperti biasa, ringtone Firework-Katy Perry dari HP ku memecah keheningan di pagi yang dingin. Dengan setengah sadar aku mendongak ke arah jam weker, hemm jam 4 pagi. Aku tahu siapa yang menelepon.
Seperti yang ku duga, foto Mama muncul di layar HP ku.
“Halo, Ma….aku udah bangun kok…makasih ya.” Jawabku. Jawaban yang sama setiap hari, setiap pagi.
“Oh sudah bangun ya, Boru (panggilan sayang untuk anak perempuan dalam bahasa Batak, ya aku bersuku batak). Jangan lupa berdoa dan belajar ya, Sayang.” Suara yang sama dengan jawaban yang sama di ujung telepon menanggapi ucapanku barusan.
Klik. Telepon diputus.
Begitulah pagiku dimulai. Selalu.
***
Oh ya aku belum memperkenalkan diriku. Namaku Santi. Aku mahasiswa tingkat akhir di sebuah institut teknik di kota Bandung. Sejak aku tingkat pertama hingga hari ini, Mama tidak pernah absen menelepon setiap pagi hanya untuk membangunkanku. Hmm, pernah sih absennya, dan biasanya itu disebabkan oleh aku yang tidak sengaja meninggalkan HP ku dalam kondisi lowbatt, sehingga HP ku mati di waktu yang seharusnya Mama menelepon.
Mama itu….bagaikan matahari bagiku. Beliau adalah alasanku untuk bangun setiap pagi dan berjuang menghadapi tantangan yang selalu ada setiap hari. Mama tahu isi hatiku bahkan sebelum aku menceritakannya. Mama tahu kalau aku sakit bahkan saat aku menyembunyikannya. Mama lah yang selalu mengajariku untuk bersabar dan menjadi wanita yang baik di depan pacarku. Fiuh, tidak ada yang bisa menggantikan keberadaan Beliau.
Rasa sayang dan hormatku pada mama belum  sebesar ini saat aku kecil. Masa kecilku di Palembang lebih sering kuhabiskan oleh pembantu dan adik Papa ku. Mama sibuk bekerja di sebuah Bank swasta. Meskipun Mama sibuk bekerja, Mama selalu menyempatkan dirinya untuk menguncir rambutku di pagi hari, makan siang bersama keluarga di siang hari, dan menyanyikan lagu gereja sebagai pengantarku tidur. Aku masih ingat saat aku masih belum sekolah, setiap hari Sabtu Mama selalu menyempatkan dirinya untuk mengajakku bermain ke taman bermain di dekat rumah, lengkap dengan bekal makan siang, seolah-olah kami sedang piknik. Hanya aku dan Mama, setiap Sabtu pagi.
Rasa sayangku pada Mama harus diuji saat suatu ‘ujian’ terjadi.
Mama tiba-tiba merasa tidak enak badan. Beliau memang punya garis keturunan diabetes, namun selama ini penyakit itu belum pernah mengganggu Mama. Mama hanya mengeluh kalau beliau sakit maag, karena pekerjaan sebagai akuntan di Bank sekaligus sebagai ibu dari 3 anak membuat Mama melupakan kesehatannya sendiri dengan makan makanan yang tidak sehat seperti mie instan dengan jadwal makan yang juga tidak teratur.
Saat itu aku baru kelas 2 SMP. Hari itu mama izin cuti dari tempat kerja beliau dan pergi ke rumah sakit bersama Papa. Aku tidak punya firasat apapun sebelumnya. Ketika pulang sekolah, aku bingung mengapa rumah masih kosong. Sekitar pukul 14.00 Papa dan Mama pulang dari RS. Papa menggotong Mama yang terlihat sangat lemah dan pucat. Aku cuma bisa terdiam melihat Papa dengan wajah panik membaringkan Mama di tempat tidur.
“San, ambilkan mama makanan ya.” ujar Papa.
Aku kembali ke kamar dengan sepiring makanan beserta lauknya. Papa berusaha menyuapi Mama, tapi Mama hanya menggeleng lemah.
Tiba-tiba saja Mama muntah hebat.
“San, ambil baskom, cepat.” perintah Papa dengan nada khawatir.
Hanya dalam hitungan detik, yang terasa selamanya, aku melihat Mama muntah hebat. Aku masih ingat bahkan muntahan mama tidak tampak seperti muntahan makanan, melainkan berwarna hijau tua. Setelah aku SMA aku tahu bahwa cairan hijau itu adalah asam lambung.
Mama pun pingsan. Papa membopong tubuh mama ke mobil menuju rumah sakit di dekat rumahku.
Saat itu pukul 18.45. Aku yang masih shock, hanya bisa menghabiskan malamku dalam diam dan penuh pertanyaan kepada Tuhan. Mengapa Engkau sejahat itu pada Mamaku?
***
Keesokan harinya Papa sudah di rumah lagi. Mama diopname, begitu berita Papa. Aku hanya bisa menanggapi berita itu dalam diam.
Sorenya, aku diajak Papa menjenguk Mama di rumah sakit. Disana, kulihat mama terbaring lemah, pucat, dan ringkih. Beliau tidak seperti mama yang biasanya, yang segar, enerjik, dan berseri-seri.
“Mama udah sehat belum?”
“Sudah, mama sudah baikan…”
“Ya udah kalo gitu yuk pulang. Tidur di rumah aja.” aku yang masih polos menarik tangan Mama.
“Maaf ya, sayang….karena Mama disini, jadi tidak ada yang mengepang rambut Santi,”  ujar Mama sambil mengelus kepangan rambutku yang berantakan. Ya, aku menghabiskan 1 jam pagi ini di depan kaca untuk berusaha menguncir sendiri rambutku.
“Ma, mau ke toilet, ngga?”
“Iya, Pa.”
Papa pun mendekat ke tempat tidur Mama.
“Papa ngapain nganter Mama ke toilet, kan toiletnya deket, Mama kan bisa jalan sendiri,” potongku.
Papa, Mama, abang, dan adik Papa ku tiba-tiba diam. Atmosfer ruangan menjadi aneh.
Papa, seolah tidak mendengar protesku, tetap mendekat ke tepi ranjang dan memapah Mama ke toilet. Bahkan Papa ikut masuk ke dalam toilet.
Aku merasa ada yang tidak beres.
Keluar dari toilet, aku bertanya pada Papa,”Mama kenapa?”
Wajah Mama tampak seperti ingin menangis.
“Tangan dan kaki kiri Mama tidak bisa digerakkan dulu untuk sementara ini, Dek” ujar papa sambil memegang bahuku.
“Memang mama sakit apa? Bukannya mama sakit maag?”
“Mama kena stroke.”
Aku yang dulu belum tahu stroke itu sakit apa. Tapi yang ku tahu dari iklan di TV, stroke adalah penyakit yang mengerikan yang bisa menyebabkan kematian.
“Jadi Mama sekarang ga bisa jalan?” tanyaku dengan putus asa.
Aku menghambur keluar kamar sebelum pertanyaanku dijawab dan berlari sampai ke rumah sambil menangis.
***
Masa SMP adalah masa puber, dimana seorang anak perempuan mulai mengalami banyak hal untuk menjadikannya menjadi seorang wanita, mulai dari cinta monyet, menstruasi, jerawat, sampai mulai munculnya kekhawatiran akan penampilan. Saat itu, aku bagaikan seorang single fighter, karena tidak ada yang bisa kutanyai. Kakakku yang perempuan sudah berkuliah ke luar kota, sedangkan Mama setiap hari hanya berbaring di tempat tidur. Sejak Mama sakit, aku jadi jarang berkomunikasi dengan Mama. Selain karena memang Mama sulit diajak berkomunikasi karena stroke beliau, aku merasa Mama tidak bisa berperan sebagaimana mama yang kuinginkan. Aku ingin seorang Mama yang bisa mengurusku, bukan sebaliknya, aku yang mengurus beliau, di usiaku yang masih sangat  muda. Ya, semenjak mama dirawat di rumah, tidak jarang aku yang ditugaskan untuk memasak makanan untuk mama, menyuapi mama, mengambilkan barang ini-itu, membantu mama berjalan, dan lain sebagainya. Berkomunikasi dengan Papa? Hanya formalitas saja. Perhatian Papa dan semua orang di rumah tercurah hanya untuk Mama. Aku kesal, mengapa di saat teman-temanku bisa memamerkan betapa menyenangkannya Ibu mereka saat menemani mereka membeli aksesori rambut di mall atau membelikan baju-baju yang cantik, aku tidak bisa mengatakan yang sama.
Ketika ujian nasional SMP, aku belajar sebaik-baiknya demi mendapatkan nilai yang terbaik, dan memang aku mendapatkan peringkat 1 umum di sekolah. Mengapa aku bekerja sedemikian keras? Aku memiliki 2 alasaan. Pertama, aku ingin membalas kekesalanku pada teman-temanku yang selama ini membuatku iri karena cerita-cerita menarik mereka tentang Ibu mereka. Aku ingin membuktikan bahwa tanpa memiliki kesempatan bersenang-senang dengan Mama seperti yang mereka lakukan, aku masih bisa memperoleh prestasi yang gemilang. Kedua, aku ingin masuk ke sebuah SMA berasrama unggulan di Jawa Tengah. Padahal dulunya aku tidak mau masuk ke sana, dengan alasan ini-itu. Namun, semenjak rumah menjadi tempat yang sepi, aku memutuskan untuk menjauh dari semuanya dan ‘mengasingkan diri’ ke sekolah berasrama. Selain itu, bersekolah di SMA Taruna Nusantara, nama sekolah itu, menjadi alasan lain untukku tidak harus berkomunikasi dengan Mama. Kupikir, dengan bersekolah di asrama aku bisa menjadi mandiri dan melupakan Mama. Namun ternyata, tidak semua yang kupikirkan benar.
Begitu merasakan bersekolah di asrama, bukannya melupakan Mama, aku justru semakin merindukan Beliau. Disaat kami berjauhan, komunikasi antara aku dan mama malah semakin baik. Setiap minggu aku selalu menyempatkan diri untuk pergi ke wartel dan menelepon Mama. Segala hal kuceritakan, mulai dari keluhan-keluhanku karena semua harus dilakukan secara mandiri hingga menceritakan kakak kelas yang kukagumi. Selain itu, semenjak hantaman ujian sakitnya mama, keluarga kami juga semakin bertumbuh secara rohani. Aku memutuskan untuk menjadi pengajar di sekolah minggu gereja di dekat sekolahku. Selain itu, melalui telepon aku tahu kalau Papa sudah mulai melayani di gereja sebagai majelis. Aku mulai menyadari bahwa mungkin Tuhan memang mengizinkan semua ini terjadi agar kami semakin saling menyayangi satu sama lain dan semakin mendekat padaNya.
***
Suatu sore di Bandung, selepas kegiatan perkuliahanku, aku menyempatkan diri menelepon Mama.
“Halo Ma, lagi ngapain? Sudah makan belum?”
“Sudah kok. Nanti Santi mau dibangunin lagi nggak, Nak? Maaf ya tadi Mama kesiangan bangun, jadi nggak bisa bangunin.”
“Iya Ma gapapa. Aku tadi juga pasang weker kok. Eh, ga usah ma. Nanti mama jadi malah harus bangun pagi-pagi untuk ngebangunin aku….kan mama harus tidur cukup.”
“Jangan gitu, Nak. Mama punya kebanggaan kalau Mama bisa ngebangunin Santi. Mama kan tidak bisa mengunjungi Santi ke Bandung sering-sering, seperti mamanya teman-teman Santi, soalnya Mama kan tidak kuat jalan lama-lama. Mama juga tidak bisa kasih Santi uang jajan dan membelikan baju baru, karena Mama tidak bekerja, kan. Jadi, cuma ini yang bisa Mama lakukan ya, Nak. Maafkan mamamu ini ya. Cuma dari cara ini mama bisa merasa berguna untuk Santi. Jadi jangan dilarang ya mama, Nak.”
Air mataku menetes.
“Ya, Ma. Kalau gitu, bangunin aku seperti biasa ya. Dah mama….”
“Iya, Nak.”
“Eh, Ma…selamat hari Ibu, aku sayang Mama.”
***
Kalau orang lain boleh punya Mama yang cantik, Mama yang bisa membelikan apa saja, atau Mama yang bisa menjadi fashion guru, aku punya Mama, yang ditengah perjuangannya memulihkan dirinya dari sakit stroke dan diabetes, setia membangunkanku SETIAP HARI, setiap jam 4 pagi.
What a wonderful woman you are, Mom.

Tuesday, May 07, 2013

An email from a friend about Papua :(


They're taking our children

MICHAEL BACHELARDMay 04, 2013
Captive audience … Papuan boys at the Daarur Rasul Islamic boarding school, outside Jakarta, behind locked gates.
Captive audience … Papuan boys at the Daarur Rasul Islamic boarding school, outside Jakarta, behind locked gates. Photo: Michael Bachelard
West Papua's youth are being removed to Islamic religious schools in Java for "re-education", writes Michael Bachelard.
Johanes Lokobal sits on the grass that cushions the wooden floor of his little, one-room house. He warms his hands at a fire set in the centre. From time to time a pig, out of sight in an annex, squeals and slams itself thunderously against the adjoining wall.
The village of Megapura in the central highlands of Indonesia's far-eastern province of West Papua is so remote that supplies arrive by air or by foot only. Johanes Lokobal has lived here all his life. He does not know his exact age: "Just old," he croaks. He's also poor. "I help in the fields. I earn about 20,000 rupiah [$2] per day. I clean the school garden." But in a hard life, one hardship particularly offends him. In 2005, his only son, Yope, was taken to faraway Jakarta. Lokobal did not want Yope to go. The boy was perhaps 14, but big and strong, a good worker. The men responsible took him anyway. A few years later, Yope died. Nobody can tell Lokobal how, nor exactly when, and he has no idea where his son is buried. All he knows, fiercely, is that this was not supposed to happen.
"If he was still alive, he would be the one to look after the family," Lokobal says. "He would go to the forest to collect the firewood for the family. So I am sad."
The men who took Yope were part of an organised traffic in West Papuan youth. A six-month Good Weekend investigation has confirmed that children, possibly in their thousands, have been enticed away over the past decade or more with the promise of a free education. In a province where the schools are poor and the families poorer still, no-cost schooling can be an irresistible offer.
But for some of these children, who may be as young as five, it's only when they arrive that they find out they have been recruited by "pesantren", Islamic boarding schools, where time to study maths, science or language is dwarfed by the hours spent in the mosque. There, in the words of one pesantren leader, "They learn to honour God, which is the main thing." These schools have one aim: to send their graduates back to Christian-majority Papua to spread their muscular form of Islam.
Ask the 100 Papuan boys and girls at the Daarur Rasul school outside Jakarta what they want to be when they grow up and they shout, "Ustad! Ustad! [religious teacher]."
In Papua, particularly in the Highlands, the issues of religious and cultural identity are red-hot. Census data from over the past four decades shows that the indigenous population is now matched in number by recent migrants, largely Muslims, from other parts of Indonesia. The newcomers' domination of the economy, particularly in the western half of the province, effectively marginalises the original inhabitants. This immigration means that indigenous Papuans have a real - and realistic - fear of becoming an ethnic and religious minority in their own country. Stories of people taking away their children adds an emotive edge and has the potential to inflame tensions in an already volatile region.
For about 50 years, a separatist insurgency has been active in Papua and hundreds of thousands have died in their efforts to gain independence for the province. Christianity, brought by Dutch and German missionaries, is both the faith of a vast majority of the indigenous population, and a key part of their identity. Islam actually has an even longer history in Papua than Christianity, but it's of a gentler kind than what's preached in Java's increasingly hardline mosques and it's still, for the moment at least, the minority religion. But when the pesantren children return from Java, their faith has changed. "They become different persons," Papuan Christian leader Benny Giay, tells me. "They have been brainwashed".
The schools insist they recruit only students who are already Muslims, but it's clear they are not too fussy. At Daarur Rasul, I quickly found two little boys, Filipus and Aldi, who were mualaf - brand new converts from Christianity. One radical Islamic organisation, Al Fatih Kafah Nusantara (AFKN), makes no bones about its intention to convert, and to use religion for political ends. Leader Fadzlan Garamatan says AFKN has brought 2200 children out of Papua as part of his program of nationalistic "Islamicisation". "When [Papuans] convert to Islam, their desire to be independent reduces," says Fadzlan on AFKN's internet page.
In restive West Papua, the movement and conversion of young children is politically explosive. We were warned a number of times not to chase the story. It's never reported in the Indonesian press. The chief of the Indonesia government's Jakarta-based Unit for the Acceleration of Development in Papua and West Papua, Bambang Darmono, downplays it as just one of "many issues in Papua", and the Religious Affairs Ministry's director of pesantrens, Saefudin, says he has never heard of it. But my efforts to trace the life and death of one Papuan boy has revealed that the trade goes on. And, in the service of grand religious and political aims, sometimes young lives are broken.
Elias Lokobal smiles to himself when he talks about the feisty little stepbrother he lost, but when talk turns to Amir Lani, his expression darkens. Lani is a local cleric in Megapura and the other villages surrounding the highland capital, Wamena. It was in about 2005 when he and Aloysius Kowenip, the police chief from the nearby town of Yahukimo, began approaching families to recruit their children. The pair worked to take five boys from vulnerable families in each of five villages and transport them to Java for education. Kowenip, a Christian, says it was his idea to "help" the children, and that the funding came from "the local government and an Islamic organisation" whose name he could not remember. He says he sought out children with only one living parent because "nobody guided them".
Young Yope was one such boy. Although he had a stepmother, his natural mother had died. Neither Lani nor Kowenip ever visited Yope's father, Johanes Lokobal, to explain their scheme. It still rankles. "These people should ask permission from the parents," Lokobal says. Instead, they asked young Yope himself, who was enthusiastic about this adventure. Some friends had gone the previous year and he was keen to join them.
When it came time for Yope to depart, it happened in a flash, stepbrother Elias recalls. "I went to school, and when I came back there was no one home."
Andreas Asso was part of the same group. Now a shy young man scrabbling a living in Jayapura, the capital of West Papua, he was perhaps 15 at the time. Like Yope, Andreas had only one parent. His father was dead and, though his mother was alive, he was living with his stepmother. Like Yope, he was approached directly. "They asked if I wanted to pursue my study in Jakarta for free," Andreas says. "The police chief never spoke to my stepmum but he spoke to my uncle, the brother of my father, and he agreed. I was born Christian and I'll always be Christian. The police chief just said we'd be put in a boarding house ... If he had told us it would be a pesantren, none of us would have wanted to go."
When the day came to leave, Andreas says a group of 19 boys were loaded into an Indonesian air force Hercules C-130 aircraft in Wamena. By some accounts, the youngest of them was just five. The plane was crewed by men in uniform. It has been difficult to verify whether the military was officially involved, but a former Papuan army chief says civilians are permitted to buy cheap tickets to fly on military aircraft as part of the military's "corporate social responsibility". "We didn't speak to the soldiers," Andreas recalls. "We were afraid."
It took two days for the plane to reach Jakarta and, "we were not fed or offered drinks. A few, especially the little ones, got sick ... a few vomited," Andreas says. "When they came to my village, I thought I wanted to go. But when I was in the aeroplane, all I was thinking was, 'I want to go back to my village.' " When they landed in Jakarta, the boys were driven about three hours to their new home - the Jamiyyah Al-Wafa Al-Islamiyah pesantren, high on the slopes of the volcano, Mount Salak, behind the regional city of Bogor. The head of the Al-Wafa school's foundation, Harun Al Rasyid, remembers Andreas Asso and the boys from Wamena, and the men who brought them, Amir Lani and Aloysius Kowenip, whom he knows as "Aloy". The two men had come and "offered the students" in 2005, he recalls. "Aloy was ambitious in politics, and bringing children to my pesantren was a way to improve his standing or image in society," Al Rasyid says.
Andreas Asso's account and his differ on many points but they concur on one: the boys from the village in the wild highlands of Papua simply did not fit in. "It wasn't like a real school because in school they have classes," Andreas says. "In this one, we just went to a big mosque and all we learnt about was Islam, just reading the Koran. Sometimes they slapped us on the face, beat us with a wooden stick. They just told us we Papuans were black, we have dark skin."
The food and education at Al-Wafa were free but the religion was strict. It has Yemeni teachers and Saudi funding and its website describes it as Salafi sholeh, or "pious Salafi". Its purpose: "Setting up a cadre of preachers and people who can call others to Islam." Andreas insists that, like him, some of the other boys were Christians, and that the head of the school changed five of their names to make them sound more Islamic - allegations Al Rasyid denies. For his part, Al Rasyid says the Papuans were an unruly rabble who exhausted the teachers "because their cultural background was different".
He says the boys urinated and defecated on the school grounds and stole the crops of neighbouring farmers. He admits punishing them by "scolding" and hitting them "with rattan on the foot". About two or three months after they arrived, one sickly boy, Nison Asso, died.
"He was 10 years old," says Andreas. "He was already sick in Wamena but ... he passed away. The body is still there in Bogor because the boarding school didn't have the money to send the body back, though his parents wanted the body sent back." Al Rasyid will not comment on Nison's fate. After less than a year, it was clear to both the boys and the school that the experiment was failing, so Amir Lani was summoned. Andreas says he pleaded with Lani to take him home, but was refused. Instead, Lani took them to Jakarta to another Papuan man, Ismail Asso, who himself had been an imported student whose name was changed. Ismail told the boys there was not enough money to return them to Papua. Their parents, it seems, were never consulted.
Some of the students were found a new pesantren in Tangerang, near Jakarta. Later they were to be expelled from there, too, because, according to Ismail Asso, "These children were already bad children in Papua." But Andreas stayed out of school and instead teamed up with another boy, Muslim Lokobal, "who was also a Christian but was given the name 'Muslim' ". The pair went to make their own way in the big city.
A persistent problem in researching this story has been pinning down details - names, times and ages. Names have been changed, roots erased, and village children rarely know their own age. The tragic end to Yope Lokobal's story suggests, however, that he may be the same boy whom Andreas Asso knew as Muslim Lokobal.
Andreas says that one night Muslim got drunk. There is no eyewitness to what happened next, and it's the subject of five or more differing, second-hand accounts. Andreas's is the most gruesome. "On the way back to the boarding house, Muslim made trouble with the local people, so they beat him up and killed him. They put his body inside the boarding house. And because they hated him, they took out one of his eyes and put a bottle in the eye socket." Does this awful scene describe Yope's death? Or was Muslim a different boy?
Back in the village of Megapura, they can shed little light. "There was a call from Jakarta to the mosque at Megapura, and the people from the mosque gave us the news," Johanes Lokobal recalls. "There was no explanation about how Yope died." Says stepbrother Elias: "It was 2009 or 2010. We just held a mourning ceremony at home, praying." Nobody knows where Yope's body is buried.
The rest of the boys from that Hercules would be in their early 20s by now. Last time Andreas Asso heard from them, they were in Jakarta as little better than beggars - "street singers or working in public transport - the drivers' assistant, collecting the passengers," he says. It's not known how many groups of children Amir Lani and Aloysius Kowenip organised to take away. Teronce Sorasi, a mother from Wamena, says she was approached in 2007 or 2008 by "the police chief", who asked her to send her daughter, Yanti, who was then five, and her son, Yance 11, to Jakarta, even though "we are a Christian family". "I said, 'no' because my husband had just passed away and we were still mourning," Sorasi says.
Amir Lani still lives in a villa in the hills near Megapura. According to Elias, whenever people ask him about the lost boys of Wamena, "he just avoids them". When I reach Aloysius Kowenip by telephone, he boasts of his scheme. "If any one of them has become somebody, then, as a Papuan, I am proud of that." But when asked about those who died or failed, Kowenip abruptly ends the call. A few days later, his friend Ismail Asso phones in a fury, then issues two threats via SMS. "I remind you ... not to dig out information about the Muslims of Wamena," he writes, otherwise the "provocative foreign journalist" will be "deported from Indonesia", or "axed, killed by the [people of] Wamena".
Internal transportation of children has a long and dishonourable history in Indonesia. Around 4500 children were removed from East Timor over the 24-year Indonesian occupation to serve, in the words of author Helene Van Klinken in her book Making Them Indonesians, a "proselytising Islamic faith", and to bind the region closer to Jakarta. Children, she wrote, were chosen because they were "impressionable and easily manipulated to serve political, racial, ideological and religious aims".
Papua has been a target in the past, too. In 1969, former president Suharto proposed transferring 200,000 children of the "backward and primitive Papuans, still living in the stone age" to Java for education. Another Saudi-backed group, DDII, used to bring children from both East Timor and Papua. And today, AFKN, which is linked to the thuggish, hardline Islamic Defenders Front (FPI), is actively seeking children to recruit.
Daarur Rasul is half pesantren, half building site in a satellite city of Jakarta called Cibinong. Here, 100 boys from the lowlands in Papua's western half crowd up to the heavy bars of a gate to greet us. The gate is locked because, according to one member of staff, "they like to escape". Forty or so girls live downstairs with more freedom of movement. School principal Ahmad Baihaqi insists he teaches moderate Islam, and the children are at least seven, but some look younger. He doesn't deny they are locked up, but says it is only during study hours "to put discipline on them".
In 2011, four boys did escape and claimed not only that they'd been forced to work on the construction site, but that at the school, they had been left hungry, given unboiled water to drink and were taught only Islam, Indonesian language and maths. Baihaqi insists the boys exaggerate, saying they had been "naughty" from before they arrived. He agrees that sometimes his students do work on the construction site, but says they enjoy it. The boys' lessons begin at 4am with prayers. School continues, with breaks and an afternoon nap, until 9pm, during which there are seven hours of prayer and Koran reading and only 3 1/2 hours for "natural sciences, social sciences, reading and writing".
Baihaqi says he recruits new students in Papua every year and swears parents give their consent. But the children only travel home every three years. They don't miss their parents, he says, and the parents knowingly agree to the arrangement.
Arist Merdeka Sirait, the head of Indonesia's non-government child protection group Komnas PA, says separating children for that long "means erasing their cultural roots", particularly if their names and religion are also changed. "It is very dangerous," he adds. But Indonesia's powerful Religious Affairs Ministry has no problem with it. It's encouraged, in fact, says pesantren division director Saefudin, because, "The longer you stay [in a pesantren], the more blessing you'll get."
The Indonesian government's Child Protection Commission, KPAI, is also sanguine. Deputy chairman Asrorun Ni'am, who is also a senior member of the Fatwa Council of the MUI, the government's Islamic advisory body, was more worried about the "religious sentiment" we might stir up by writing the story. "It's against all efforts to build harmonious atmosphere," he warned us.
The law is clear. The UN Convention on the Rights of the Child, to which Indonesia is a party, says children should not be separated from their families for whatever reason, even poverty. And Indonesia's Child Protection Act includes a five-year jail penalty for those who convert a child to religion different from their family's. In West Papua, religious leaders have little doubt that removing children is part of a broader effort to overwhelm the indigenous population; "It is Indonesia's long-term project to make Papua an Islamic place," says the head of the province's Baptist church, Socratez Yoman. "If Jakarta wants to educate Papuan children," says Christian leader Benny Giay, "why don't they build schools in Papua?"
We could not confirm if the government of Indonesia or its agencies were active in the movement of children. But some organisations have high level support. AFKN is funded by zakat (Islamic alms) delivered through the charitable arm of state-owned Indonesian bank BRI; Aloysius Kowenip talked of "local government" funding; Daarur Rasul's donors include "some police officers and military officers" acting personally, and at least one group was moved by a military plane.
Perhaps, like the well-documented movement of children in East Timor, the Papuan operation has no government endorsement but enjoys quiet consent at high levels of Indonesian society. Andreas Asso survived to tell his tale, but remains furious at how he was duped into leaving his highland home, then abandoned to his fate.
"I could have had an education there in Wamena. Some of my friends who stayed have graduated from school ... My dream job is to become a policeman. But I look back, and I've achieved nothing."

Wednesday, April 24, 2013

talks and papers do very little to change reality --Izael Pereira Da Silva


I found a great article. Check this out! 

Rio+20: Documents Aren't Useful if There's No Action


Izael Pereira Da Silva is an expert in Renewable Energy, Sustainable Development, Rural Electrification and Energy Efficiency. He is member of the Association of Energy Engineer in USA and of the Uganda Institution of Professional Engineers. Today, he is Associate Professor at Makerere University (Uganda) and teaches also in the Strathmore Business School of Kenya.
His studies have taken him to Rio+20 Conference of last june, the Earth Conference that took place at Rio of Janeiro. He sums up his experiences.

How was the organization of Rio+20? 
Rio+20 was a very large conference with plenty of side events and pre-meetings conferences which, to my understanding, were way beyond the ability of a human being to consume. I found myself quite lost on the maze of dialogues, presentations, panels and show-events available. Another challenge was transport. Riocentre, the venue of the UN conference, was too far from downtown. We had 6 different routes with buses taking participants and it would always suppose more than one hour, sometimes two, traveling.
Which were your priorities in Rio+20?
I live in Africa and thus my geographical priority were the East African region in particular. In terms of technology my focus was renewable energy. In terms of organs in society I was there representing the Academia and thus I was concerned about capacity building, research and development, innovation and consultancy.
I think that unless Academia starts seriously working with Government and the Private Sector, no lasting and wide impact will be achieved.
You attended Renewable Energy, Water management, Sustainable Development... Could you give us some advice related with the sustainability suggested by Rio?
Everybody is talking about renewable energy. Whether the oil is going to get finished in the next 10, 50 or 100 years, I cannot tell, I see a movement towards solar, wind, small hydro and geothermal energies; as a welcome movement even if petrol is to stay there forever.
The challenge is still with the countries in Africa, India and South Asia, where 2 billion people are living very poorly because they have no access to modern types of energy and thus have problems to access income generating activities, health, education and communication services. I think Europe can help these 2 billion people and at the same time solve their current economic crisis by accessing this huge new market.
What do you think about the importance of Rio and his influence in society? 
The final non-binding document "The future we want", as Vatican Observer says, is 49 pages long with 283 paragraphs divided into six parts.
Rio+20 focused on issues previously announced and various priority areas including, among others, decent jobs, energy, sustainable cities, food security and sustainable agriculture, water, oceans and disaster readiness.
As the Observer mentions elsewhere, it’s a non-perfect document which nonetheless can be useful to help the developing world and the developed one to work together towards a better future for the planet, our common home.
Do you think that Rio will be an impact to society and that can generate an active engagement?
Young people do what they see the old generation doing. I think they are offered now a more responsive role model and, generally, I see reasons for optimism.
One think though is important to mention: talks and papers do very little to change reality. Unless people start DOING things nothing will really change.
How would the leadership of the new generation for the sustainability be? 
Sustainability is a "catching" concept and I could see in Brazil how people on the streets were already trying to live in a more conscientious manner, having in mind the future generations and our responsibility of leaving the planet to them in a better shape.
Here in Kenya the Government has created a fund to support and reward initiatives on sustainable environment and the thing is catching fire.
I am thus optimistic about the future. The only issue to have in mind is that we need to tell our young people that the human person is meant to be the focal point of development and thus his/her dignity has to be preserved above any "right" of nature.
For those who didn`t attend Rio but develop a sustainable project related with youth, poverty, childhood and family. What could they do to take advantage of Rio?
That is simple! I dare say having attended Rio+20 was only important from a historical viewpoint. If people read the final document and do a bit of research on what the government of their specific country is doing (the ministry of environment, energy, water, etc), they will find plenty of initiatives to engage and make a positive contribution towards the future we want.
On a light note, for those who did not make it to Rio+20 and thus missed to enjoy the most beautiful city in the planet there is another chance next year as they can join Pope Benedict XVI on the World Youth Day and yet another in 2014 when they can attend the World Cup.