Tuesday, September 08, 2015

Latah Lingkungan, Wabah Berbahaya di Usia 20an

Lo anak usia 20tahunan, aktif menggunakan social media dan suka kepo sama status temen-temen lo? Hati-hati, karena bisa aja secara tidak sadar lo hampir terjangkit (atau bahkan sudah terlanjur terkena) wabah Latah Lingkungan.

Latah lingkungan itu definisi gue buat keinginan yang lo pikir muncul dari diri lo sendiri, tapi sebenernya engga. Keinginan itu muncul bisa dari efek lo ngebacain status update Path temen kuliah lo, ngeliatin foto instagram temen SMA lo, atau hasil gosip bareng temen kerja lo. Hampir terjangkit artinya lo udah mulai kepengenan atau bahkan sampe terobsesi. Sudah terjangkit? Artinya lo bahkan sudah mengalami, merasakan, dan menjalaninya sendiri dengan secuil rasa pertanyaan di pojok perasaan: why on earth I am doing this, yang selalu berhasil lo tepis dengan (salah satu caranya mungkin) ngepost postingan serupa temen lo tapi bedanya subjek di foto/post/thread adalah elo.

Dulu, gue pikir gue bukan tipe orang yang gampang latah lingkungan, dalam artian ketika temen-temen gue pada beli lipstick 500ribuan, pake gopro, mulai pada dilamar/melamar/menikah/punya anak, rajin ikut run-run ala ala, dsb dsb....gue ngga latah tuh pengen ikut-ikutan. Ciyus, gue bahkan mendeklarasikan ke diri gue bahwa gue anti latah lingkungan. Tapi ternyata gue salah. Sebuah weekend simpel bikin gue sadar bahwa gue tak ada ubahnya dengan orang-orang kebanyakan yang gue cibir diam-diam sebagai org yang terjangkit wabah latah lingkungan.

Weekend dimulai karena ketidaksengajaan. Rabu kemarin di wisma tempat gue diklat di Cepu ada insiden dikit. Insidennya nanti gue ceritain belakangan. Pokoknya karena insiden itu gue jadi waswas buat tidur di wisma. Soalnya gue sekamar sendirian, cewe sendiri dari total 11 peserta diklat (yang separuhnya adalah seumuran om gue yang tentu saja selalu pulang ke keluarga mereka di Jakarta tiap weekend). Sisa peserta yang lain yang masih lajang berniat main ke Jogja. Karena ga mau ditinggal sendiri, jadilah gue ikut ngabur ke Jogja. Untung ada temen SMA gue yang baik hati yang mau numpangin gue di rumahnya di daerah Godean. Bukannya gue se-pelit itu buat book kamar sendiri di hotel, tapi gue terlalu parno (saat itu) buat tidur sendiri (ya karena insiden itu).

Hari pertama gue dijemput temen SMA gue ini (sebut saja Ayu, bukan nama sebenarnya) di stasiun Tugu. Kami langsung cuss ke rumahnya karena nanggung juga mau makan karena itu sore-sore dan gue lumayan capek karena pagi-siangnya gue ada visit dulu di TBBM Pertamina di Madiun (diklat mengharuskan gue kesana kemari buat belajar, yeah). Setelah tanya kabar sana-sini, gue jadi tau kalo Ayu ternyata baru mulai S2 ambil magister manajemen di sebuah universitas swasta bagus di Bandung. Dia S2 sambil kerja, kelas malem, dan biaya 50% bayar sendiri (sisanya dibayarin perusahaannya). Apakah disitu gue jadi pengen buat S2 setelah denger cerita Ayu? Belum...gue salut banget sama Ayu yang bela-belain keluar duit sendiri dan ngabisin tiap malem senin-jumat buat belajar. Gue belum sampe tahap pengen, baru sampe tahap mempertanyakan kok gue ga pernah punya niat dan nyali segede dia ya,,,,

sampe tahap ini gue (masih) sok mengatakan bahwa gue anti latah


Besoknya gue janjian sama adeknya pacar gue (sebut saja Jati, bukan nama sebenarnya juga). Si Jati ini anak semester 3 jurusan FK di kampus kebanggan Jogja. Selama 5 tahun gue pacaran sama abangnya, sebenernya ga pernah gue berinteraksi langsung sama dia. Cuma, entah kenapa gue rasa sebagai pacar yang baik (ceilah) dan karena lagi senggang juga, ya gue ajak ketemu aja. Singkat cerita gue ketemu dia, makan dan ngobrol. Dari situ gue tau dia ngambil aktivitas ini itu dan jadi panitia ospek di jurusannya. Sekilas gue merasa flashback ke kehidupan gue di awal kuliah yang haus ambil bagian disana-sini, sibuk kanan kiri tapi tetap happy. Sepanjang dia cerita kehidupannya, gue makin wondering ke diri sendiri, terkubur dimanakah semangat gue yang dulu waktu awal kuliah berkobar-kobar. Gue terus mendengarkan omongannya sambil melamun sampai dia bertanya,

"Kalo Kak Santi, mimpinya apa?"

"Hah? Gue? Hmm....jadi ibu rumah tangga yang baik, punya anak sehat dan pinter, hidup tenang dan bahagia." jawab gue semi reflek dan kaget sama jawaban gue sendiri. Why on earth I can speak like that!

Mukanya tampak ngga puas dan mengernyit seakan ngga percaya itu mimpi gue. Sumpah, kalo ada cermin, mungkin gue bisa melihat muka gue menunjukkan reaksi yang serupa.

"ngga deng, ada aja. ngga gue banget itu mah hahaha", tutup gue sambil berusaha menyembunyikan kekagetan diri sendiri.

dia ngga nanya lebih lanjut. tapi mukanya ngga berubah, masih seolah nanya: masa sih? gue ga percaya. itu kayanya ga lo banget deh

....dan di detik itu gue memang menyadari bahwa apa yang barusan gue ucapkan jelas bukan mimpi gue. Itu mimpi orang-orang di sekitar gue yang secara langsung ataupun tidak sudah membuat gue, yang tadi awalnya bilang anti latah, menjadi latah dan mengcopas mimpi mereka sebagai mimpi gue, hanya agar gue dipandang normal sama khalayak di lingkungan sekitar gue beraktivitas sekarang (Tolong ini jangan disalah-artikan bahwa gue memandang keinginan seorang wanita untuk jadi ibu rumah tangga, punya anak sehat dan pintar bukanlah mimpi yang keren. Big No. Gue menghargai mimpi kalian semuaaa).

Si Jati ini udah kenalan sama gue dari 5 tahun yang lalu, mungkin sedikit banyak dia tau tentang gue dari abangnya, mungkin....jadi mungkin pemahaman dia tentang gue dari abangnya-lah yang melatarbelakangi kernyitan dia yang begitu jujur dan tanpa beban, yang akhirnya menohok gue sampe membuat gue terbangun dan malu sama ucapan gue sendiri. Di beberapa saat perenungan setelah pertemuan sama Jati, gue jadi inget pacar gue pernah beberapa kali komentar saat kami lagi diskusi soal mimpi dan ambisi masa depan.

"Kamu kok ngga kaya Santi yang dulu aku kenal sih."
"Mungkin aku hanya lebih realistis sekarang, Bang"
"Hmmm...."
"Kenapa? Kamu ngga suka aku yang sekarang?"
"Ngga kok gapapa...."

mungkin...mungkin dia ngga enakan mau ngomentarin langsung betapa gue ngga menjalani hidup gue sendiri dan menghidupi mimpi gue sendiri. Mungkin dia mau jaga perasaan gue dan hubungan kami. Tapi puji Tuhan, ada hikmahnya gue ketemu adiknya di Jogja kemarin. Respon jujurnya mengingatkan gue kembali sama komentar-komentar tersirat pacar gue dulu.

Besoknya pas pulang gereja, Jati ngasih gue semacam gantungan kayu yang ada tulisan kanji jepang yang bertuliskan 'yume' yang artinya 'mimpi'. Ini adik sama abang gue yakin saudara kandung nih, sama-sama suka ngomong tersirat. Mungkin semacam buat menyemangati gue dan respon lanjutannya atas keheranan dia akan mimpi gue yang kayanya ngga gue banget. Mungkin juga karena sempatnya beli gantungan itu doang ya hahaha. Anyway, gantungan itu gue jadiin monumen atas kesadaran gue bahwa gue sudah hampir terjangkit latah lingkungan dan mulai sekarang akan start clean dan fokus merancang mimpi yang memang gue inginkan.

Nah, kalo lo gimana? Kira-kira udah mulai terjangkit belum?