Sunday, June 29, 2008

Ketika Anggukan Seorang Ibu Menjadi Energi Baru

Ceritanya sebenernya simpel banget.

Kemarin waktu hari terakhir saya berada di sekolah, saya ditawarin untuk mengirimkan esai ke CIVED. Saya sih langsung mau aja, karena saya pikir sekalian mengisi waktu liburan.

tapi ternyata syarat administratifnya banyak banget, dan saya ga punya semua itu. Mulai dari foto, SPRINT sekolah, saya ga punya. Sebenernya udah disediain sama pihak sekolah, tapi waktu itu, dihari yang sama saya harus berangkat cepet, karena flight saya cukup pagi.

Alhasil sampai rumah saya ga tau harus ngapain.
Temen saya, Enggar, sms saya ternyata dia udah selesai. Wah, saya aja belum ngapa-ngapain dan ga tau mau ngapa-ngapain.

ya udah, berbekal sedikit ngobrol dengan Pak Kuncoro, salah satu pamong di sekolah, saya terinspirasi untuk tidak membuat esai, tapi membuat karya seni.

tapi lagi2 saya stuck, wong peralatan gambar saya semua ada di sekolah, gimana caranya saya bisa bikin?

Saya oprek2 keliling rumah, dan ketemu kalender bekas, krayon2 patah, lem yang udah separuh kering, kertas HVS, sampul kopi, gunting, dan sebatang pensil tumpul.

Saya udah hopeless dan nyaris menyerah. Mana persyaratan administratifnya harus minta surat izin dari sekolah dan orang tua. Kalo dari sekolah sih, bisa di scan oleh enggar, tapi yang dari orang tua....mana saya udah mau naik kelas 3, ayah saya pasti nggak ngizinin untuk ikut2 lomba lagi.

Saat itu udah tanggal 26 juni pagi. Padahal deadlinenya tanggal 27 juni. Saya belum buat apa-apa. Saya bilang ke temen saya, enggar, kalo saya nggak jadi ikut lomba dan minta maaf sebesar-besarnya. Saya bilang aja saya belum siap dan belum dapat izin dari orang tua.

Tapi ternyata ibu saya mendengar percakapan saya.
Kata ibu saya, "Kerjakan aja, Nak, kalo emang kamu suka, kami pasti dukung."
Lalu ibu saya mengangguk pelan, seakan membuka semua kebuntuan kreativitas saya yang selama ini mandek.
entah kenapa saya langsung tiba-tiba kreatif.

Saya pergi ke kebun depan, mengumpulkan ranting-ranting, daun, dan kulit kayu. entah untuk apa.
Saya memotong kalender, lalu menempel 2 kalender jadi satu, dan disampul kopi.
saya tempelkan daun2 kering, ranting, akar, dan kulit kayu ke kalender itu. Saya gunting sana, gunting sini...jadilah lukisan timbul pohon yang aneh bin ajaib, tapi saya suka.

Saya ngak tahu lagi mau buat apa. Waktu udah mepet, padahal saya masihh ada les matematika. Akhirnya saya tulis aja judulnya: FILOSOFI POHON.

Bahwa pemimpin haruslah meneladani pohon. Mulai dari akar, hingga daun, yang memiliki nilai faedahnya masing-masing.

Langsung saya bungkus, beserta surat yang ditandatangani oleh ibu saya tercinta.

entah diterima atau tidak, tapi saya sudah merasa menang. Tanpa saya harus ikut pelatihan kepemimpinan pun, saya seakan sudah belajar untuk menjadi seorang pemimpin, dalam kondisi kritis sekalipun. Saya belajar banyak dari ibu saya, pemimpin yang sebenarnya.

malamnya ibu saya berkata,"San, kalo misalnya kamu lulus pelatihan, bagus sekali ya..."
Saya cuma tersenyum dan menjawab, "Nggak perlu lulus pun Bu, saya udah belajar dari pemimpin yang sebenarnya..."

Terima kasih Ibu, anggukan kepalamu berarti segalanya bagiku.