Thursday, August 13, 2015

Antara Saya, Dunia Modern, dan Mukzizat.

It's been so long time for me to again post a writing in here. Banyak alasan untuk ngga nulis disini lagi (selain males tentunya, LOL). Tapi itu bukan berarti I didn't make note to what things that I counted as interesting topics to be written here....termasuk alasan kenapa lebih dari setahun saya vakum nulis. tapi mari itu dikesampingkan dulu dan back to topic.

Dunia modern. Penuh teknologi. Dimana-mana serba digital, praktis, dan instan. Mau beli tiket pesawat, bayar tagihan listrik, sampai ngepoin temen bisa lewat satu gadget saja, dan bisa dilakukan bersamaan. Luar biasa. I am really into this modern thing. Can't live without it. Bangun tidur yang pertama dicek bukannya apa badan masih utuh atau ngga, tapi notif di Path isinya brapa banyak yang nge-love, hahaha.
Dunia modern juga (buat saya) identik dengan ibukota. Jetset, borju, fancy, mewah, apalah apalah. Setahun lebih tinggal di ibukota Jakarta ini, bikin saya mau ngga mau ikut terseret dengan tipikal kehidupannya yang apa-apa mahal (mulai dari nongkrong doang sampe kondangan). Terkadang saya kangen live a simple life seperti kalo mau makan belimbing tinggal petik di depan rumah dan bukan beli dulu ke supermarket, atau kalo mau jogging di sekitar rumah ga perlu khawatir diserempet mobil atau malah jadi kanker paru-paru krn disemprot asap knalpot.

Dunia modern sekilas membuat saya beranggapan bahwa segalanya terasa bisa diukur dan dilogikakan. Pengen hidup kaya dan terjamin di hari tua? cari financial planner dan terapkan advice nya. Mau jadi pengusaha? siapkan dulu penghasilan 3 tahun jadi safety income.....dan semua aturan dan perhitungan lainnya yang penuh logika dan....uang. Dunia modern juga membuat saya jadi gampang sirik sama org lain. Kemudahan mencari tahu kabar teman2 via social media kadang jadi batu sandungan juga. Duh si A udah jalan-jalan ke raja ampat aja, aduh si B udah S2 ke amrik aja, aduh si C udah punya suami tajir....
Dunia modern membuat saya cenderung memaksimalkan kerja otot dan otak saya, tapi meminimalkan kerja iman saya. Dunia modern membuat saya melupakan yang namanya mukzizat (kuasa Tuhan).

Setidaknya sampai awal Januari 2015. Tepatnya 2 Januari 2015, waktu mama saya masuk rumah sakit untuk kesekian kalinya. Penyebabnya? duh panjang, tapi intinya dilatarbelakangi duo maut hipertensi dan diabetes....jadilah mama collapse dan masuk RS. Pas pula sakitnya di Pekanbaru, jadi dirawat di RS tempat kakak saya kerja. Long story short, di ICU mama sempat kena stroke lagi waktu ICU, sempat pulih, di ruang opname, EKG mama sempat garis lurus (alias ngga ada pulse) selama 15 menit sampai akhirnya koma lagi, balik ke ICU sampe akhirnya bisa pulang ke Palembang 2 minggu kemudian. Biaya? di atas kertas itu ratusan juta. But big thanks to BPJS Kesehatan dan pelayanan RS Awal Bross Pekanbaru yang membuat beban ratusan juta itu terlepas dari pundak kami.
Terkesan biasa? NOPE. Miracle happened. Mukzizat terjadi. Let me give you some details
1. Di RS tempat mama dirawat, penanggungan biaya BPJS baru dimulai tanggal 2 januari 2015 pkl. 00.00, dan mama saya masuk beberapa jam setelah itu. Kalo aja mama masuknya tgl 1 pkl 23.55, BPJS blm berlaku dan kami harus menanggung sendiri ratusan juta biaya rumah sakit. 
2. Pulse mama sempat garis lurus 15 menit. Full stop. dan stop nya bukan di ICU yang peralatan medisnya lengkap dan alat shock jantungnya cuma berjarak sejengkal. Kejadiannya di bangsal ruang opname. Loh kok bisa ketolong? Di hari yang sama, temen2 kakak saya yang dokter dan suster entah kenapa sepakat buat sarapan bareng di ruang kamar tempat mama saya dirawat skalian mau besuk mama. Di saat mereka asik sarapan, it happened. Ada kali sekitar 5 dokter umum yang entah gimana caranya (saya cuma diceritain soalnya), mompa dada mama biar jantungnya berdetak lagi dsb dsb nonstop sampe 15 menit mereka berjuang demi ada pulse lagi di EKG. Kabarnya kakak saya (yang dokter juga) udah cuma bisa terduduk di pojokan karena ga sanggup ngeliat peristiwa itu.

Udah, itu aja? No. Ngga berhenti sampai disitu. Di 2015 ini kayaknya hidup kami gaakan berlanjut karena campur tangan Tuhan. Sekitar awal Juli, tiba-tiba saya yang lagi dinas di Luwuk ditelpon kakak saya yang sambil nangis mengabarkan kalau Papa saya masuk RS karena stroke. Jujur, malam itu langit terasa jauh lebih gelap. Papa. Satu-satunya harapan yang bisa kami pegang untuk merawat mama. Yang disesalkan adalah Papa ngga punya savings sama sekali karena semua uang pensiunnya lenyap akibat investasi gagal Cipaganti. Asuransi juga ngga ada kecuali ASKES sisa dari kantornya dulu beliau bekerja, yang sudah di-down grade jadi BPJS. Otomatis biaya murni dari kami anak-anaknya. Puji Tuhan papa ngga parah dan bisa balik setelah opname seminggu. Disini saya pun ga habis pikir sama rencana dan kuasa Tuhan. Papa pagi itu mengeluh pusing dan susah ngomong, lalu beliau inisiatif pergi ke dokter untuk CT scan (atas saran kakak). Dari hasil CT scan beliau ternyata sedang terkena stroke! Beliau diminta opname saat itu juga. Tapi (beliau bilang) karena mama sendirian di rumah, he insisted to go back to home, drove the car by himself. Logika bilang itu agak ajaib bisa ngga tabrakan atau kecelakaan tunggal pas nyetir dg kondisi otak kena stroke. Tapi beliau masih bisa nelpon ke kakak dan akhirnya kakak minta tolong sama relatives di Palembang buat anterin Papa ke RS. Jelas, mau ga mau kami harus menerima kenyataan bahwa, meskipun Papa bisa sembuh, tanggung jawab kami jelas akan jadi dobel mulai sekarang.
Dan Tuhan Yesus memang The Best Planner Ever. Di saat Papa sakit itulah saya jadi punya pikiran untuk meng-audit cashflow rumah tangga. It turns out utang kartu kredit Papa udah mencapai puluh juta. Ternyata selama ini pengeluaran (especially untuk operasional kesehatan mama) gede banget sampe gaji pensiun dan kiriman musiman dari anak-anaknya ngga nutup pengeluaran.
Hari itu saya merasa malu sama diri saya sendiri. Malu karena bisa-bisanya saya punya tabungan disaat Papa saya berhutang ke bank.
dan hari itu juga saya berjanji dengan diri saya sendiri bahwa utang Papa akan saya lunasi.
Dua minggu setelah Papa pulang dari rumah sakit, saya balik ke Palembang dan ngajak Papa ngobrol 4 mata soal utang ini. Have I ever see my Daddy cried that bad? No, I haven't. Malam itu saya baru menyadari betapa lelah sorot matanya yang selama ini menyembunyikan kelemahannya.

Dua hari yang lalu, 95% utang kartu kreditnya sudah saya bayarkan ke Bank.

Kalau mau mengikuti ego dan kedagingan saya, saya rasanya ingin berontak. Itu uang saya, itu tabungan saya setahun lebih bekerja! Saya juga sudah punya rencana untuk uang itu, dan rencana saya itu baik kok!
Tapi puji Tuhan rasa kasih lebih besar dari itu semua. Hukum perintah Allah yang ke 5: "Hormatilah ayah dan ibumu...." juga ngga bisa saya enyahkan dari pikiran saya. Didorong oleh iman, pengharapan, dan kasih lah yang membuat saya tidak segan ke ATM dan menuntaskan semuanya.

Yang keren adalah Tuhan bisa mengajak kita berbicara lewat apa aja. Dunia modern ngga membuat Tuhan kehilangan waktu dan tempat dan momen untuk ngajak kita komunikasi, asalkan kita mau membuka hati kita untuk diajak komunikasi. Tiga hari yang lalu (sehari sebelum saya membayar hutang), saya masih agak sedikit meratapi nasib saya. Lalu, saya jalan-jalan pagi di sekitar mess tempat saya diklat di Cepu. Saat itu saya melewati sebuah SD. Ada seorang anak, lengkap dengan seragam barunya,sulit disuruh masuk ke gerbang sekolah. Ibunya, bekerja sama dengan guru, membujuk mati-matian agar anaknya mau sekolah. Akhirnya si anak mau masuk ke kelas. Si ibu pun pulang dengan tersenyum sambil menggenjot sepedanya. Melihat scene singkat itu saya menangis. Bisa-bisanya saya merutuki nasib saya. Bisa-bisanya saya berpikir dua kali untuk membantu orang tua saya, padahal atas kasih Tuhan melalui kerja keras dan doa mereka lah saya bisa mendapatkan apa yang bisa saya dapatkan hingga sekarang. Ngga usah hitung pendidikan yang dibiayai, waktu yang mereka berikan untuk membesarkan saya, malam-malam dimana mereka ngga tidur waktu saya sakit, atau usaha mereka membuat saya hidup cukup di rumah.........ngga ternilai. Uang tabungan saya kini terasa cuma sangat kecil dibanding apa yang sudah mereka beri. Momen itu semakin memantapkan hati saya untuk melangkah ke ATM.


Firman Tuhan 1 Tesalonika 5:18 sangat hidup mulai hari itu. "Mengucap syukurlah dalam segala hal, sebab itulah yang dikehendaki Allah di dalam Kristus Yesus bagi kamu." Detik setelah saya keluar dari ATM saya merasa di-khotbah-i diri sendiri. Serasa ada yang sedang mengeksposisi FirTu itu dan membacakannya keras-keras di kepala saya.
Setelah mama sakit, kakak dan saya bisa dibilang terkuras....biaya, energi dan emosi terkuras habis krn bolakbalik PKU-JKT, jaga malam, dan iuran bulanan buat obat dan kontrol mama ke dokter. Untuk saya pribadi, sebagai anak berusia 24 tahun yang baru saja menapaki dunia karir, disaat kebanyakan teman saya menghabiskan gajinya untuk beli ini itu yang diinginkan mereka, saya mesti menyisihkan sebagian untuk saya kirim ke rumah. Disaat teman-teman saya menghabiskan tabungannya untuk liburan atau berinvestasi, uang tabungan saya terpotong signifikan karena mesti membiayai hutang Papa saya.
Dalam segala hal, San. Dalam segala hal. Bukan untuk segala hal. Kamu ngga bersyukur untuk pencobaan dan ujian yang terjadi. Kamu ngga bersyukur untuk sakit yang didera. Kamu ngga bersyukur untuk musibah yang ada. Kamu mengucap syukur di dalamnya.
Kamu mengucap syukur bahwa di dalam pencobaan dan ujian, kamu masih memiliki keluarga yang mengasihimu dan mengasihi Allah.
Kamu mengucap syukur bahwa di dalam sakit yang didera papa dan mamamu, membuatmu dan (mungkin) orang di sekitar kalian jadi mengingat Allah.
Kamu mengucap syukur bahwa di dalam musibah, ternyata masih banyak orang yang tulus peduli terhadap kamu.
Kamu mengucap syukur bahwa dalam kesulitan orang tuamu, kamu masih punya kesempatan untuk membuktikan kasih dan hormatmu sebagai anak kepada mereka.

....dan sebelum saya menyadari, mulut saya otomatis menyanyikan lagu 'Bapa Engkau Sungguh Baik' outloud saat perjalanan pulang jalan kaki ke mess.

Hidup terlalu singkat untuk dihabiskan dengan mengeluh, lebih baik pakai waktunya untuk memikirkan solusi atas semua tantangan yang belum selesai dihadapi. Tantangan saya mungkin baru saja dimulai, dan masih panjang perjalananannya. I am still whining, btw. Yes, I am a human. Sometimes I need my time break to regain my spirit back.
Above all, di masa modern nan sibuk nan hedon nan materialistis ini, I still got my own miracle: I am still sane, happy enough, thankful enough, and may have the gut to outspeak what I've been through these days. Ada niatan buat diem-diem aja dalam hati. Simpen-simpen aja kesusahan dalam diri sendiri. Tapi entah mengapa rasanya sensasi hidup dalam kepasrahan sama Tuhan ini perlu banget dibagi. Toh hidup kita ini kitab terbuka yang hendaknya dibaca orang.
Mungkin kesusahan saya ga sebanding sama orang lain yang jauh lebih berat. Pasti ada yang lebih susah tantangannya dan lebih sabar dari saya. Saya cuma ingin berbagi saja, bahwa di masa serba modern ini ada solusi yang ga bisa dibeli, ga bisa diprediksi, ga bisa di-googling, atau ga bisa ditentukan timeline nya. Di dunia modern ini masih ada solusi yang datangnya dari Dia dengan bermodal berserah diri sepenuhnya. Solusi yang namanya mukzizat.