Thursday, May 09, 2013

Wonderful Mom

"Do you ever feel, like a plastic bag….drifting through the wind….wanting to start again….”
Seperti biasa, ringtone Firework-Katy Perry dari HP ku memecah keheningan di pagi yang dingin. Dengan setengah sadar aku mendongak ke arah jam weker, hemm jam 4 pagi. Aku tahu siapa yang menelepon.
Seperti yang ku duga, foto Mama muncul di layar HP ku.
“Halo, Ma….aku udah bangun kok…makasih ya.” Jawabku. Jawaban yang sama setiap hari, setiap pagi.
“Oh sudah bangun ya, Boru (panggilan sayang untuk anak perempuan dalam bahasa Batak, ya aku bersuku batak). Jangan lupa berdoa dan belajar ya, Sayang.” Suara yang sama dengan jawaban yang sama di ujung telepon menanggapi ucapanku barusan.
Klik. Telepon diputus.
Begitulah pagiku dimulai. Selalu.
***
Oh ya aku belum memperkenalkan diriku. Namaku Santi. Aku mahasiswa tingkat akhir di sebuah institut teknik di kota Bandung. Sejak aku tingkat pertama hingga hari ini, Mama tidak pernah absen menelepon setiap pagi hanya untuk membangunkanku. Hmm, pernah sih absennya, dan biasanya itu disebabkan oleh aku yang tidak sengaja meninggalkan HP ku dalam kondisi lowbatt, sehingga HP ku mati di waktu yang seharusnya Mama menelepon.
Mama itu….bagaikan matahari bagiku. Beliau adalah alasanku untuk bangun setiap pagi dan berjuang menghadapi tantangan yang selalu ada setiap hari. Mama tahu isi hatiku bahkan sebelum aku menceritakannya. Mama tahu kalau aku sakit bahkan saat aku menyembunyikannya. Mama lah yang selalu mengajariku untuk bersabar dan menjadi wanita yang baik di depan pacarku. Fiuh, tidak ada yang bisa menggantikan keberadaan Beliau.
Rasa sayang dan hormatku pada mama belum  sebesar ini saat aku kecil. Masa kecilku di Palembang lebih sering kuhabiskan oleh pembantu dan adik Papa ku. Mama sibuk bekerja di sebuah Bank swasta. Meskipun Mama sibuk bekerja, Mama selalu menyempatkan dirinya untuk menguncir rambutku di pagi hari, makan siang bersama keluarga di siang hari, dan menyanyikan lagu gereja sebagai pengantarku tidur. Aku masih ingat saat aku masih belum sekolah, setiap hari Sabtu Mama selalu menyempatkan dirinya untuk mengajakku bermain ke taman bermain di dekat rumah, lengkap dengan bekal makan siang, seolah-olah kami sedang piknik. Hanya aku dan Mama, setiap Sabtu pagi.
Rasa sayangku pada Mama harus diuji saat suatu ‘ujian’ terjadi.
Mama tiba-tiba merasa tidak enak badan. Beliau memang punya garis keturunan diabetes, namun selama ini penyakit itu belum pernah mengganggu Mama. Mama hanya mengeluh kalau beliau sakit maag, karena pekerjaan sebagai akuntan di Bank sekaligus sebagai ibu dari 3 anak membuat Mama melupakan kesehatannya sendiri dengan makan makanan yang tidak sehat seperti mie instan dengan jadwal makan yang juga tidak teratur.
Saat itu aku baru kelas 2 SMP. Hari itu mama izin cuti dari tempat kerja beliau dan pergi ke rumah sakit bersama Papa. Aku tidak punya firasat apapun sebelumnya. Ketika pulang sekolah, aku bingung mengapa rumah masih kosong. Sekitar pukul 14.00 Papa dan Mama pulang dari RS. Papa menggotong Mama yang terlihat sangat lemah dan pucat. Aku cuma bisa terdiam melihat Papa dengan wajah panik membaringkan Mama di tempat tidur.
“San, ambilkan mama makanan ya.” ujar Papa.
Aku kembali ke kamar dengan sepiring makanan beserta lauknya. Papa berusaha menyuapi Mama, tapi Mama hanya menggeleng lemah.
Tiba-tiba saja Mama muntah hebat.
“San, ambil baskom, cepat.” perintah Papa dengan nada khawatir.
Hanya dalam hitungan detik, yang terasa selamanya, aku melihat Mama muntah hebat. Aku masih ingat bahkan muntahan mama tidak tampak seperti muntahan makanan, melainkan berwarna hijau tua. Setelah aku SMA aku tahu bahwa cairan hijau itu adalah asam lambung.
Mama pun pingsan. Papa membopong tubuh mama ke mobil menuju rumah sakit di dekat rumahku.
Saat itu pukul 18.45. Aku yang masih shock, hanya bisa menghabiskan malamku dalam diam dan penuh pertanyaan kepada Tuhan. Mengapa Engkau sejahat itu pada Mamaku?
***
Keesokan harinya Papa sudah di rumah lagi. Mama diopname, begitu berita Papa. Aku hanya bisa menanggapi berita itu dalam diam.
Sorenya, aku diajak Papa menjenguk Mama di rumah sakit. Disana, kulihat mama terbaring lemah, pucat, dan ringkih. Beliau tidak seperti mama yang biasanya, yang segar, enerjik, dan berseri-seri.
“Mama udah sehat belum?”
“Sudah, mama sudah baikan…”
“Ya udah kalo gitu yuk pulang. Tidur di rumah aja.” aku yang masih polos menarik tangan Mama.
“Maaf ya, sayang….karena Mama disini, jadi tidak ada yang mengepang rambut Santi,”  ujar Mama sambil mengelus kepangan rambutku yang berantakan. Ya, aku menghabiskan 1 jam pagi ini di depan kaca untuk berusaha menguncir sendiri rambutku.
“Ma, mau ke toilet, ngga?”
“Iya, Pa.”
Papa pun mendekat ke tempat tidur Mama.
“Papa ngapain nganter Mama ke toilet, kan toiletnya deket, Mama kan bisa jalan sendiri,” potongku.
Papa, Mama, abang, dan adik Papa ku tiba-tiba diam. Atmosfer ruangan menjadi aneh.
Papa, seolah tidak mendengar protesku, tetap mendekat ke tepi ranjang dan memapah Mama ke toilet. Bahkan Papa ikut masuk ke dalam toilet.
Aku merasa ada yang tidak beres.
Keluar dari toilet, aku bertanya pada Papa,”Mama kenapa?”
Wajah Mama tampak seperti ingin menangis.
“Tangan dan kaki kiri Mama tidak bisa digerakkan dulu untuk sementara ini, Dek” ujar papa sambil memegang bahuku.
“Memang mama sakit apa? Bukannya mama sakit maag?”
“Mama kena stroke.”
Aku yang dulu belum tahu stroke itu sakit apa. Tapi yang ku tahu dari iklan di TV, stroke adalah penyakit yang mengerikan yang bisa menyebabkan kematian.
“Jadi Mama sekarang ga bisa jalan?” tanyaku dengan putus asa.
Aku menghambur keluar kamar sebelum pertanyaanku dijawab dan berlari sampai ke rumah sambil menangis.
***
Masa SMP adalah masa puber, dimana seorang anak perempuan mulai mengalami banyak hal untuk menjadikannya menjadi seorang wanita, mulai dari cinta monyet, menstruasi, jerawat, sampai mulai munculnya kekhawatiran akan penampilan. Saat itu, aku bagaikan seorang single fighter, karena tidak ada yang bisa kutanyai. Kakakku yang perempuan sudah berkuliah ke luar kota, sedangkan Mama setiap hari hanya berbaring di tempat tidur. Sejak Mama sakit, aku jadi jarang berkomunikasi dengan Mama. Selain karena memang Mama sulit diajak berkomunikasi karena stroke beliau, aku merasa Mama tidak bisa berperan sebagaimana mama yang kuinginkan. Aku ingin seorang Mama yang bisa mengurusku, bukan sebaliknya, aku yang mengurus beliau, di usiaku yang masih sangat  muda. Ya, semenjak mama dirawat di rumah, tidak jarang aku yang ditugaskan untuk memasak makanan untuk mama, menyuapi mama, mengambilkan barang ini-itu, membantu mama berjalan, dan lain sebagainya. Berkomunikasi dengan Papa? Hanya formalitas saja. Perhatian Papa dan semua orang di rumah tercurah hanya untuk Mama. Aku kesal, mengapa di saat teman-temanku bisa memamerkan betapa menyenangkannya Ibu mereka saat menemani mereka membeli aksesori rambut di mall atau membelikan baju-baju yang cantik, aku tidak bisa mengatakan yang sama.
Ketika ujian nasional SMP, aku belajar sebaik-baiknya demi mendapatkan nilai yang terbaik, dan memang aku mendapatkan peringkat 1 umum di sekolah. Mengapa aku bekerja sedemikian keras? Aku memiliki 2 alasaan. Pertama, aku ingin membalas kekesalanku pada teman-temanku yang selama ini membuatku iri karena cerita-cerita menarik mereka tentang Ibu mereka. Aku ingin membuktikan bahwa tanpa memiliki kesempatan bersenang-senang dengan Mama seperti yang mereka lakukan, aku masih bisa memperoleh prestasi yang gemilang. Kedua, aku ingin masuk ke sebuah SMA berasrama unggulan di Jawa Tengah. Padahal dulunya aku tidak mau masuk ke sana, dengan alasan ini-itu. Namun, semenjak rumah menjadi tempat yang sepi, aku memutuskan untuk menjauh dari semuanya dan ‘mengasingkan diri’ ke sekolah berasrama. Selain itu, bersekolah di SMA Taruna Nusantara, nama sekolah itu, menjadi alasan lain untukku tidak harus berkomunikasi dengan Mama. Kupikir, dengan bersekolah di asrama aku bisa menjadi mandiri dan melupakan Mama. Namun ternyata, tidak semua yang kupikirkan benar.
Begitu merasakan bersekolah di asrama, bukannya melupakan Mama, aku justru semakin merindukan Beliau. Disaat kami berjauhan, komunikasi antara aku dan mama malah semakin baik. Setiap minggu aku selalu menyempatkan diri untuk pergi ke wartel dan menelepon Mama. Segala hal kuceritakan, mulai dari keluhan-keluhanku karena semua harus dilakukan secara mandiri hingga menceritakan kakak kelas yang kukagumi. Selain itu, semenjak hantaman ujian sakitnya mama, keluarga kami juga semakin bertumbuh secara rohani. Aku memutuskan untuk menjadi pengajar di sekolah minggu gereja di dekat sekolahku. Selain itu, melalui telepon aku tahu kalau Papa sudah mulai melayani di gereja sebagai majelis. Aku mulai menyadari bahwa mungkin Tuhan memang mengizinkan semua ini terjadi agar kami semakin saling menyayangi satu sama lain dan semakin mendekat padaNya.
***
Suatu sore di Bandung, selepas kegiatan perkuliahanku, aku menyempatkan diri menelepon Mama.
“Halo Ma, lagi ngapain? Sudah makan belum?”
“Sudah kok. Nanti Santi mau dibangunin lagi nggak, Nak? Maaf ya tadi Mama kesiangan bangun, jadi nggak bisa bangunin.”
“Iya Ma gapapa. Aku tadi juga pasang weker kok. Eh, ga usah ma. Nanti mama jadi malah harus bangun pagi-pagi untuk ngebangunin aku….kan mama harus tidur cukup.”
“Jangan gitu, Nak. Mama punya kebanggaan kalau Mama bisa ngebangunin Santi. Mama kan tidak bisa mengunjungi Santi ke Bandung sering-sering, seperti mamanya teman-teman Santi, soalnya Mama kan tidak kuat jalan lama-lama. Mama juga tidak bisa kasih Santi uang jajan dan membelikan baju baru, karena Mama tidak bekerja, kan. Jadi, cuma ini yang bisa Mama lakukan ya, Nak. Maafkan mamamu ini ya. Cuma dari cara ini mama bisa merasa berguna untuk Santi. Jadi jangan dilarang ya mama, Nak.”
Air mataku menetes.
“Ya, Ma. Kalau gitu, bangunin aku seperti biasa ya. Dah mama….”
“Iya, Nak.”
“Eh, Ma…selamat hari Ibu, aku sayang Mama.”
***
Kalau orang lain boleh punya Mama yang cantik, Mama yang bisa membelikan apa saja, atau Mama yang bisa menjadi fashion guru, aku punya Mama, yang ditengah perjuangannya memulihkan dirinya dari sakit stroke dan diabetes, setia membangunkanku SETIAP HARI, setiap jam 4 pagi.
What a wonderful woman you are, Mom.

No comments:

Post a Comment

Feel free to put on your thoughts about my writings :)