Tuesday, July 17, 2012

Perihal panggilan (ga penting?) dalam per-PA-an


Baru2 ini gw, dalam rangka wisudaan (baca: jenuh KP) menyempatkan diri untuk sejenak kembali ke peradaban ibukota bandung. Setelah datang ke acara wisudaan juli ITB, kasih2 bunga, cipikacipiki dan foto2, gw, adek PA, dan beberapa temennya jalan ke ciwalk buat ngisi perut karena emang kita belum makan dari pagi. Hahaha.
Tiba2 gw skrg terinspirasi untuk nulis tentang family tree keluarga PA. Gw juju raja, agak ga begitu setuju dengan pembuatan family tree keluarga PA yang (berusaha) menghubungkan orang yang satu dengan yang lain. Okelah kalo itu masih dalam konteks kakak PA, adik PA, cucu, dan buyut PA….pokoknya garis lurus keturunan langsung deh. Cuma yang bikin gw agak bingung adalah mengenai konteks sepupu PA, keponakan PA, atau entahlah, jadi rantai yang bercabang2.
Begitu juga dengan kesejajaran dalam family tree PA. gw punya satu adek PA yang masih TPB, tapi gw ga pernah mensejajarkan dia dengan adek PA gw yang udah tingkat 2. Buat gw, meskipun semuanya adalah adek PA gw, tapi si yang TPB ini beda dong, dia lebih muda, dia ga bisa gw perlakukan sama dengan yang lebih tua. Dan dia (si yang TPB) gw harap juga paham kalo gw gak pernah mensejajarkan dia sama dengan kedua adek PA gw yang lain yang udah tingkat 2.
Kenapa gw rada ga stuju dengan cabang2 family tree keluarga PA dan pensejajaran adek PA? buat gw, usia itu, meskipun beda setahun, itu beda banget. Gw percaya dengan itikad baik dari adanya hirarki. Lo ga bisa memperlakukan orang yang udah masuk duluan, udah lo ajar lebih lama, dengan orang yang baru masuk, dengan standard an pandangan yang sama. Begitu juga seharusnya si objek yang diajar seharusnya bisa sadar diri mengenai dimana posisi dia, bahwa dia lebih tua/muda, dan ga perlu merasa keren  atau malah terintimidasi karena sejajar dengan orang yang lebih muda atau tua.
Dalam percabangan family tree keluarga PA, entah ponakan atau sepupu atau apapun, gw tidak menganggap itu. Kalo ada yang mengatakan: iya, dia kan sepupu PA ku. Duh. Aneh rasanya di kuping, apalagi kalo itu diucapkan oleh orang yang lebih muda dari gw, yang seumuran dengan adek2 PA yang sudah gw ajar. Rasanya gimana gitu ya, duh dik, kamu belum pantas memanggil saya sepupu. Begitu juga kalo saya ga akan berusaha memanggil orang sepupu PA saya kalo ternyata dia lebih senior dari saya. Saya pasti menghargainya dan (mengkondisikan) memandang dia lebih bisa ditanyai mengenai per-PA-an.
Ketidaksukaan gw ini tentunya berdasar. Dengan adanya cap-cap semacam sepupu, keponakan, dan sodara, banyak dari anak2 PMK yang ga mau dimuridkan karena telat masuk lembaga pelayanan. Mereka mikirnya: wah brarti kalo gw masuk sekarang, gw bakal dicap sama dengan si adik itu, atau bahkan bisa aja gw “dibimbing” sama dia. Ketakutan itu bukan gw karang2, tapi beberapa temen gw yang udah tingkat 2 atau 3 yang gw ajak balik lagi ke lembaga pelayanan untuk dimuridkan, mengatakan hal yang sama: wah gw udah ketuaan, malu ntar sama yang lebih muda.
Trus, sebenernya, apa sih pentingnya keponakan, sepupu, dan, sodara PA kalo sebenernya lo ga bertumbuh bersama dan malah Cuma bertumbuhnya sama kakak PA lo aja? Paling guna sebutan itu adalah untuk seneng2 doang, lucu2 doang kan. Tapi efeknya ke luar rada gede dan riskan. Bisa membatasi jiwa baru untuk dimuridkan.

Nah, masih (perlu) kah kau memanggilku sepupu PA?

1 comment:

Feel free to put on your thoughts about my writings :)