Thursday, June 02, 2011

Pengabdian Masyarakat HIMATEK 2011

Courtesy of Muhammad Faris Firmansyah, ketua angkatan Teknik Kimia ITB 2009

Ini adalah sepenggal kisah kami saat melakukan pengabdian masyarakat ke Desa Kadaleman, Kelurahan Pakutandang, Ciparay, Jawa Barat.

Pahlawan bukanlah orang suci yang diturunkan dari langit ke bumi untuk menyelesaikan persoalan manusia dengan mukjizat. Pahlawan adalah orang biasa yang melakukan pekerjaan-pekerjaan besar, dalam sunyi yang panjang, sampai waktu mereka habis. Mereka tidak harus tercatat dalam buku sejarah atau dimakamkan di taman makam pahlawan. Mereka juga melakukan kesalahan dan dosa. Mereka adalah manusia biasa yang berusaha memaksimalkan seluruh kemampuan untuk memberikan yang terbaik bagi orang-orang disekelilingnya. Mereka merakit kerja-kerja kecil menjadi sebuah gunung, karya kepahlawanan adalah tabung jiwa dalam masa yang lama  Anis Matta, dari bukunya mencari pahlawan Indonesia
Selamat Siang kawan, tak terasa sudah hampir seminggu yang lalu kita pergi ke Ciparay. Susah, senang, bingung, capek, haru, dan bangga tercampur aduk di benak aku, mungkin di benak kawan-kawan juga. Berangkat dari kutipan Anis Matta di atas, aku ingin menyapa kawan-kawan sekalian juga sebagai pahlawan. Menyiapkan pengabdian masyarakat tidak semudah membalikkan tangan. Dibutuhkan pengorbanan waktu dan persiapan yang matang dari semua pihak. Akungnya kemarin belum semua kawan kawan teknik kimia ’09 merasakan kerja keras kita semua. Aku yakin, insyallah kerja keras kalian suatu saat akan dibalas oleh Yang Maha Kuasa. Aku pribadi, ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya, kepada seluruh panitia inti dari pengabdian masyarakat ini. Penghargaan yang setinggi-tingginya aku ucapkan, karena telah memberikan kesempatan kepada angkatan kita untuk melaksanakan salah satu dari Tri Dharma Perguruan Tinggi. Terimakasih, karena telah memberi penyuluhan tentang nilai tambah produk kecimpring. Dan terima kasih, karena telah memeberi aku satu cerita lagi yang takkan terlupakan.
Dari Kawanmu
--
Faris







Dua Hariku di Kadaleman
-          Selasa
Pukul 12 malam aku tiba di dusun Kadaleman, desa Pakutandang RW 21 Kecamatan Ciparay. Datang disambut oleh Pak RW (belum kenal namanya). Menginap ke rumah Pak Eman di RT 01, rumah yang halaman depannya dipakai tenda untuk acara dangdutan. Di rumah Pak Eman ada Mang Deden (anak Pak Eman) sedang nonton TV yang menyambut aku dalam sekejap kami pun berkenalan. Sesampainya di sana aku ditawari kecimpring dan minum, lalu ngobrol ngalor ngidul sambil nonton Jackie Chan sampai jam setengah 2 pagi. Di rumah ini ada juga Wildan dan Habe (tidur di bawah) serta Ardi Geankoplis, Leo, Chasbi, dan Hendy tidur di kamar atas.
Pagi hari aku bangun jam setengah 6 untuk segera shalat dan siap-siap. Setelah shalat aku tidur bentar, hehe.. lalu berkumpul dengan semua panitia yang udah duluan datang untuk keliling memastikan persebaran tempat tinggal di induk semang, dikordinasikan oleh Chasbi dan Hilda. Kebetulan aku mendapat giliran untuk mengunjungi rumah Ibu Mpok RT 01 yang akan ditinggali oleh Anggara dan Wira.
Setelah selesai keliling induk semang, kami berenam (Aku, Chasbi, Leo, Ardi, Hendy, Wildan, dan Habe) berjalan-jalan ke sekitar desa untuk melihat-lihat situasi ditemani oleh Mang Deden. Tempat pertama yang kami kunjungi adalah mata air yang menjadi sumber air bersih seluruh warga. Mata air ini berjarak sekitar 200 meter dari desa menuju atas bukit. Butuh waktu sekitar 15 menit berjalan kaki untuk mencapai ke sana. Mata air ini didistribusikan ke rumah warga dengan pipa-pipa yang membentang di pinggir jalan setapak ke seluruh dari RT 01 sampai RT 03.
Tempat kedua yang kami singgahi adalah balong ikan (kolam a.k.a. empang). Balong yang kami kunjungi adalah balong milik Pak Eman yang terdiri dari 3, yaitu kolam pemijahan, pembibitan, dan kolam pembesaran. Di kolam pemijahan, terdapat alat ijuk yang dipakai sebagai tempat menempelnya telur ikan ketika dipijah. Di kolam inilah, induk ikan menetaskan dan membuahi telurnya. Di sini terdapat ikan yang beratnya mencapai 12 kilogram! Besar sekali. Butuh dua sampai 3 hari sebelum alat ijuk diangkat dan dipindahkan ke tempat pembibitan. Di kolam pembibitan, telur-telur ikan tadi mulai menjadi ikan dan tumbuh menjadi jentik yang kecil. Setelah menetas, ikan “mini” tadi dipindahkan ke kolam pembesaran untuk dibesarkan dan diberi makan yang banyak. Jika diamati, balong-balong ikan yang ada di Ciparay berwarna hijau pekat. Kalo kata Mang Deden, justru kolam yang bagus adalah yang seperti itu. Warna hijau yang didapat berasal dari pupuk kolam yang ditaburkan dengan tujuan agar kolam tersebut menjadi media yang baik untuk tumbuh ikan agar cepat besar. Ardi menambahkan, warna hijau ini menyuburkan ganggang-ganggang yang meningkatkan laju pertumbuhan ikan dengan meningkatkan konversi makanan ikan ke tubuhnya.
Tempat ketiga yang kami datangi pagi itu adalah Sungai Cirasea. Sungai Cirasea terletak di sisi timur dusun Kadaleman. Sungai ini berawal dari mata air di Gunung Wayang yang berjarak 20 kilometer jauhnya. Di Gunung Wayang ini terletak pembangkit listrik tenaga geothermal terbesar yang dikelola oleh pengembang energi lokal Indonesia Star Energy. Sungai Cirasea yang melewati dusun kadaleman memiliki lebar sekitar 7 meter dengan kedalaman beragam antara 10 centimeter sampai 3 meter. Sesampainya di sana, ternyata tempatnya cukup bagus untuk berenang dan akungnya aku tidak memakai celana pendek, Leo dan Chasbi ternyata sudah siap dengan celana pendeknya. Akhirnya, aku bertiga dengan Hendy dan Ardi kembali lagi ke rumah untuk mengambil celana pendek dan kantong plastik. Karena suatu hal, Habe dan Wildan sedang tidak mau untuk berenang saat itu. Setelah siap dengan celana pendek, kami berlima segera nyemplung dan menikmati dinginnya air sungai Cirasea. Airnya cukup deras sehingga membuat jeram-jeram besar ketika melintasi batu-batu di tengah-tengah sungai. Di atas sungai, terdapat jembatan penghubung setinggi 5 meter di atas permukaan sungai. Menurut Mang Deden tempat ini biasa dipakai untuk melompat dan terjun bebas. Kami pun segera naik ke atas untuk mencoba seperti apa rasanya jatuh dari ketinggian 5 meter. Awalnya kami ragu, karena takut jatuh membentur dasar sungai, namun Mang Deden meyakinkan bahwa kedalaman air di bawah jembatan, minimal 3 meter. Lalu kami pun memberanikan diri untuk terjun dengan Mang Deden pertama kali lompat. Ketika tiba giliran aku, deg-degan rasanya, dan ketika melompat, badan ini melayang serta bulu kunduk berdiri, berat badan serasa nol.
Setelah merasa cukup bermain di sungai, kami kembali ke rumah Pak Eman untuk mandi dan bersiap-siap menyambut kawan-kawan TK ’09. Pukul 10.30 kawan-kawan turun dari truk menuju ke lapangan voli sambil membawa sembako untuk induk semang masing-masing. Setelah masing-masing anak mengetahui induk semangnya, diantar oleh anak Humas ke tempat masing-masing untuk istirahat dan makan siang.
Pukul 1 kami dikumpulkan kembali di rumah Pak Eman untuk mengikuti acara pembukaan rangkaian acara pengabdian masyarakat kali ini. Kebetulan aku dan Adi Hutomo menjadi penanggung jawab acara siang itu. Kami harus mempersiapkan MC, serta beberapa perangkat dusun untuk memberi sambutan sore itu. Acara dibuka oleh Mbadit sebagai MC lalu dilanjutkan oleh sambutan ketua RW Pak Dedeng, sesepuh desa Pak Aep, dan Ketua Pemgabdian Masyarakat Garuda Andre Ete. Satu hal yang aku ingat dari isi sambutan Pak Aep adalah “didoakeun sing lulus sadayana di ujian kelulusan..” Amin, terimakasih Pak J
Setelah acara pembukaan selesai, kegiatan dilanjutkan dengan games anak-anak di lapangan voli oleh kawan-kawan teknik kimia 09. Di saat yang bersamaan, dilakukan pembagian sembako untuk RT 02 dan 03 di balai RW, kebetulan aku berada di pembagian sembako waktu itu. Pembagian sembako dib alai RW ini diawasi dan didata oleh ketua RT 02 Ibu Entin dan ketua RT 03 Pak Endang serta Arline, Denisa, Hilda, Hugogede, dan Priska sebagai panitia yang membagikan sembakonya. Pembagian sembako berlangsung sekitar satu setengah jam. Beberapa keluarga ada yang sedang pergi ke luar desa sehingga sembakonya dititipkan ke warga yang tinggal di dekat rumahnya.
Sesaat setelah pembagian sembako selesai, sore itu turun hujan sehingga beberapa dari kami ada yang pulang ke induk semang dan ada juga yang duduk-duduk ngobrol santai dibalai RW. Beberapa kawan yang mengikuti games di lapangan voli juga turun ke bawah untuk berteduh sejenak. Satu orang tidak beruntung sore itu, karena dia menjadi objek “bully” kawan-kawan yang lain, sori Jim J haha.
Ketika hujan reda, aku naik ke lapangan voli untuk melihat apakah ada yang bermain di lapangan. Ternyata betul, kawan-kawan sedang bermain voli sore itu, kami yang dari balai RW pun turut menonton sambil menuggu gentian. Ketika set voli telah selesai dimainkan, kami membagi semua orang ke dalam 4 tim bola. Bocah-bocah Ciparay terbagi ke dalam berbagai tim, aku ingat betul ada dua orang bocah yang memakai baju merah dengan lambang garuda dan nomor punggung 17, Irfan Bachdim. Bocah-bocah Ciparay lincah sekali dalam bermain bola. Berkali-kali kami harus malu karena gawang batang pisang yang kami jaga selalu berhasil dikelabui oleh tendangan lihai bocah-bocah Ciparay, salah satunya bocah yang bernama Erwin. Sore itu kami bermain bergantian, namun hanya satu orang yang tidak, Ardi Geankoplis! J
Hujan turun kembali dan semakin deras, akhirnya kami bubar bermain bola dan mencari tempat teduh, beberapa mamilih untuk kembali ke rumah induk semang. Aku dan Ardi cepek memilih untuk pergi berteduh ke balai RW dengan mampir terlebih dahulu di tengah perjalanan ke rumah induk semang Marsha dan Felicia yang ternyata merupakan rumah Pak Dedeng, Ketua RW 21 dusun Kadaleman, dusun tempat kami melakukan pengabdian masyarakat Sembari berteduh di bawah atap rumah Pak Dedeng, aku ditawari untuk mencicipi berbagai keripik goreng dalam berbagai rasa.  Mulai yang asin banget sampe yang pedas banget! Thanks Marsha dan Felis untuk tempat neduh dan keripiknya J
Sampailah aku di balai RW. Tempat nongkrong santai ala pemuda desa, hehe. Ada yang tidur, ada yang ngobrol, ada juga yang keliling-keliling sawah. Sore itu juga ada rombongan yang baru datang di desa Ciparay dengan menggunakan angkot. Di saat yang bersamaan, Denisa, Biber, dan Rea akan bergegas pulang untuk persiapan konser dan Biber sedang dalam kondisi tubuh yang kurang fit karena sempat muntah-muntah selama di desa.
Oiya, siang hari pada saat distribusi pembagian induk semang, di RT tempat aku tinggal terdapat satu rumah induk semang yang kosong sehingga harus dilakukan redistribusi tempat tinggal.  Rumah induk semang aku yang baru adalah dengan Pak Iwan, sebelumnya aku tinggal di rumah Bu Aisyah bersama Baskoro dan Bram. Mulai sore itu aku tinggal di rumah Pak Iwan bersama dengan Fahmi. Pak Iwan adalah seorang pria paruh baya berumur 40 tahun, tubuhnya kecil dan kurus, namun masih menunjukkan kelincahan yang tidak biasa dimiliki rata-rata orang di umur sekian. Pak Iwan adalah anak bungsu dari 5 bersaudara. Beliau tinggal di rumah bersama kedua orangtuanya. Aku tidak terlalu kenal dengan bapak dari Pak Iwan namun aku lebih sering ngobrol dengan dari ibunya yaitu Ibu Engkik. Rumahnya sederhana namun rapih, serta pemandangan muka rumah yang indah langsung menatap lembah bukit Culah yang asri.
Waktu sudah menunjukkan pukul 7, sudah tiba waktunya untuk acara “hiburan” ala desa, yaitu dangdutan meriah yang disaksikan orang sedusun. Sejak pukul 5 sore, perlengkapan dan sound system sudah mulai dipasang dan disusun rapi mulai dari sound system hingga kendang dan keyboard sebagai pengiring lagu. “Wirda Entertainment” adalah event organizer dangdutan kali ini, pemiliknya adalah orang berperawakan besar dan berkumis seperti Pak Raden. Sekilas, penampilan dan perawakan pemilik EO ini sedikit banyak mirip Adrie Subono, promoter konser kelas kakap di Indonesia. Karena aku blum sempat berkenalan dengannya, untuk selanjutnya kita sebut beliau sebagai Pak Kumis, hehe J
Sembari menonton dengan masyarakat setempat, aku juga bertanya-tanya dengan orang-orang di sekitar aku, dari manakah asal Pak Kumis dan seluruh pengisi acara dangdutan ini. Lalu jawabannya adalah “Ini semuanya orang sini dik, tinggalnya di seberang sungai sana..” Wah, aku kira asalnya jauh dari Bandung kota sana pak. “Orang-orang sini sudah bisalah, untuk membuat acara dangdutan dengan sound dan alat yang lengkap. Biasanya kalo ada acara-acara besar seperti tujuh belasan, syukuran, dan acara-acara besar lainnya pasti aka nada dangdutan”, imbuhnya.
Setelah selesai dangdutan, aku kembali ke rumah induk semang dengan Fahmi. Fahmi langsung tidur, hari itu dia terlihat sangat capek. Aku memilih untuk menonton TV bersama Pak Iwan sambil menunggu siapa tahu ada pertandingan bola. Setelah menunggu dan ternyata tidak ada siaran bola, kami akhirnya ngobrol ngalor ngidul tentang kehidupan sehari-hari. Hal pertama yang aku tanyakan, adalah detail alamat lokasi desa ini. Saat itu beliau menjelaskan bahwa dusun yang aku tinggali ini adalah RW 21 biasa disebut juga sebagai desa Kadaleman. Dusun Kadaleman merupakan bagian dari Kampung Cipaku, Kelurahannya Pakutandang, Kecamatannya Ciparay. Beliau menambahkan pula asal-usul kenapa dusun ini disebut dusun Kadaleman. Konon, desa ini dulu dihuni oleh para menteri-menteri dan sesepuh kerajaan. Tempatnya sangat terpencil untuk menghindari serangan-serangan musuh yang biasanya brutal dan tiba-tiba, sehingga lokasi ini cukup aman sebagai tempat tinggal perangkat kerajaan yang biasa disebut sebagai “abdi dalem”, oleh karena itu daerah ini disebut sebagai “Kadaleman”, tempat tinggalnya para “abdi dalem”. Selain itu, beliau menceritakan bahwa dusun Kadaleman mayoritas penduduknya adalah petani. Hasil beras yang dihasilkan menurutnya adalah yang terbaik. Kalau pernah dengar beras pulen dengan merek “Ramos” atau “Pandan Wangi”, beras itu adalah beras yang dihasilkan oleh sawah-sawah di dusun Kadaleman katanya.
Pak Iwan juga bercerita bahwa masyarakat di sini juga percaya bahwa desa ini dijaga oleh “karuhun”, yaitu arwah leluhur yang telah mendahului mereka yang hidup di daerah sini. Pak Iwan percaya bahwa ketika orang mati, arwahnya tetap akan ada di sini menjaga kehidupan warga. Tak heran, dusun ini merupakan pusat ternak domba sekecamatan Ciparay namun belum pernah terjadi kecolongan ternak. Di sisi lain, di desa lain sering terjadi kecolongan ternak padahal jumlah domba yang dimiliki tidak sebanyak yang dimiliki oleh dusun Kadaleman imbuhnya. Makanya, ketika tiba bulan qurban, desa ini cukup dibanjiri rejeki dari hasil ternaknya. Selain menjaga keamanan, Pak Iwan juga percaya bahwa arwah karuhun juga menjaga nilai-nilai sosial gotong royong masyarakat. Miras dan perjudian serta perzinahan betul-betul dihindari oleh masyarakat, dan mereka saling menjaga.
Setelah ngobrol panjang lebar dengan Pak Iwan, aku berpamitan dengan beliau untuk membantu kawan-kawan yang lain ngeronda di balai RW. Ketika aku tiba di sana, sudah ada Fareza, Jekpot, Diego, dan Anton yang sedang berjaga. Kembali lagi aku memanfaatkan quality time ini, untuk ngobrol-ngobrol sampai pukul setengah empat pagi. Waktu itu kami manfaatkan untuk ngobrol ngalor ngidul gajelas, mulai dari masa depan dan budaya bangsa, sampai masa muda yang berapi-api, haha J
-          Rabu
Pagi hari, udara desa sangat segar dengan sedikit kabut mewarnai bangun tidurku di balai RW. Setelah shalat, aku kembali ke induk semang untuk bersiap-siap mandi dan sarapan pagi. Di rumah, sudah ada Pak Iwan dan Bu Engkik sedang duduk-duduk santai di depan rumah. Bersama Fahmi, aku dipersilahkan duduk di teras rumah sambil menikmati air hangat yang siduguhkan. Sungguh nikmat, menikmati pagi hari sambil minum air hangat dengan pemandangan muka rumah yang indah langsung menatap lembah bukit Culah yang asri dengan kabut dan embun yang membasahi dedaunan. Selain air hangat, kami juga disuguhi oleh “ketimus”, makanan tradisional yang dibungkus dengan daun pisang. Ketimus berukuran sekitar 4 x 8 cm dengan tebal kira-kira 2 cm. Ketimus terbuat dari singkong giling berisi gula merah di dalamnya yang dimasak dengan cara dikukus dalam air yang dibakar dengan kayu. Satu rasa yang akan aku deskripsikan untuk makanan ini, “maknyuss!”
Setelah mandi dan sarapan, waktu sudah menunjukkan pukul tujuh, waktunya untuk ke panggung di halaman rumah Pak Eman untuk berkumpul persiapan acara selanjutnya, yaitu masak kecimpring bersama warga Ciparay. Di sini kami melakukan persiapan bahan-bahan yang akan dipakai selama masak-memasak. Divisi engineering di bawah komando Deden dan Martin menyiapkan segala sesuatunya mulai dari garam, minyak goreng, gula, bumbu keju, bumbu pedas, cabai, dan garam. Selain itu divisi engineering juga menyiapkan plastik bening yang akan dipakai sebagai kemasan serta alat hand sealer (alat pemanas) untuk membuat kemasan agar kecimpring dikemas dalam kemasan yang menarik dan bernilai tambah.
Jam 9 kami mulai menyebar ke 2 titik, satu titik untuk warga RT 01, titik lainnya untuk warga RT 01 dan 02. Divisi engineering juga dibagi dua, aku dan mashen ditempatkan di titik ke 2. Titik kedua bertempat di rumah Pak Dedeng, yaitu rumah Pak RW dimana Marsha dan Felis tinggal. Akungnya ketika kami datang, kecimpring masih belum siap karena belum kering dijemur matahari. Sekitar pukul setengah sepuluh, kecimpring mulai kering dan terkumpul di rumah Pak Dedeng akhirnya kami mulai menggoreng. Di tengah-tengah asyik menggoreng, Cimet tiba-tiba ketumpahan minyak goreng panas sehingga harus dievakuasi sejenak ke tempat aman, semoga Cimet sekarang uda sembuh perihnya J . Di tempat yang sama, ibu-ibu warga RT 02 dan 03 diajari cara membuat kemasan untuk produk kecimpring yang sudah digoreng. Terdapat 2 jenis kemasan yang akan dibuat, tujuan pembedaan ini selain untuk membuat kemasan menarik, juga untuk membedakan wadah rasa dari produk kecimpring. Di sisi lain, ada juga ibu-ibu yang diajari untuk mencampur bumbu-bumbu perasa kecimpring dan cara mengocok-ngocok kecimpring agar bumbunya menempel di kecimpring. Di dekat kamar mandi, Aditom, Wira, dan Wildan asyik balapan membuka mulut plastic agar terbuka secepat-cepatnya! J
Pukul 11 kami beres-beres karena waktu sudah habis, ibu-ibu sudah diajari untuk membuat kemasan dan cara mencampur bumbu-bumbu perasa kecimpring. Sebelum kembali ke induk semang-semang masing-masing, kami berpamitan ke ibu-ibu warga RT.  Aku dan Mashen mewakili teman-teman pamit dan menitipkan ke ibu-ibu warga RT agar sebuah hand sealer. Meskipun hanya satu, harapannya bisa dipakai swadaya agar selanjutnya setelah berkembang, masing-masing keluarga dapat memiliki masing-masing satu hand sealer dan taraf hidupnya semakin baik.
Sesaat setelah sampai di induk semang, aku segera beres-beres dan makan siang. Setelah makan siang, aku duduk di teras rumah dengan Bu Engkik dan Pak Iwan ngobrol santai sebelum akhirnya berpisah dan berpamitan. Beliau sangat berterima kasih atas kedatangan kita semua di sana. Beliau bahkan meminta maaf jika makanannya kurang enak dan pas-pasan. Padahal yang aku rasakan, makanannya selalu enak dan lengkap. Beliau mendoakan kita semua agar lancar sekolahnya dan lulus yang benar. Pak Iwan menambahkan, kehidupan di sana harus benar-benar diresapi, agar ketika kita menjadi pemimpin nanti tidak melupakan kehidupan rakyat kecil, sungguh pemikiran yang maju jika dibandingkan kehidupannya sehari-hari, ingatlah kawan J bersyukurlah kawan, mungkin puluhan doa telah dilayangkan kepada kita agar kita lancar sekolahnya dan dan diluluskan semua ujiannya, simpel namun doa itu tak akan bisa ternilai dengan materi J
Sebelum ke tempat kumpul di RT 01, aku melihat sekumpulan bebek sedang berjalan-jalan di pinggir selokan. Aku mengambil sebatang ranting dan mencoba menggiring bebek-bebek tersebut layaknya penggembala bebek yang aku pernah lihat. Ternyata benar, bebek itu mudah diatur dengan cara melambai-lambaikan ranting pohon yang tadi aku ambil. Bebek-bebek tersebut dengan rapi berbaris berjalan menuju ke arah yang aku tunjuk. Jujur saja, pengalaman itu menakjubkan bagi aku, hehe. Kebetulan, aku bermain-main dengan bebek itu di sekitar rumah pemilik bebek-bebek tersebut. Ketika melewati orang yang memiliki bebek-bebek tersebut, beliau mengucapkan “ncep, maaf kalo ada yang kurang selama di desa, terima kasih untuk hiburannya..” “terima kasih Bu, sama-sama, mohon maaf juga selama di sini mungkin kami ada yang kurang berkenan atau salah”, aku menjawab.
      Dua hari sudah aku melewati hari-hari di desa Kadaleman. Ada satu hal aneh yang aku alami selama di desa ini, yaitu “dilatasi waktu” sebuah teori yang dilontarkan Einstein dengan sebutan “Teori Relativitas”. Entah kenapa, selama aku tinggal di sana, waktu berjalan dengan sangat lambat. Beberapa kawan yang aku ceritakan tentang hal ini mengaku mengalami hal yang sama. Apakah kamu merasakannya juga?
            Ketika aku ceritakan hal ini kepada Pak Iwan, beliau pun menceritakan pengalamannya selama hidup di kota. “Saya juga pernah hidup di kota dik, rasanya sangat tidak enak. Udaranya sangat kotor dan badan ga enak. Ya, waktu berjalan cepat di sana, kesibukannya ga habis-habis sih”, kata Pak Iwan. Lalu Pak Iwan melanjutkan, “Kalo di sini mah beda, biar kita juga kerja setiap hari, tetapi kita juga libur setiap hari. Tidak ada beban pikiran selama hidup di sini, habis kerja, ya ngopi, berteduh dulu lah di pinggir sawah sambil makan siang, makanya waktu di sini sangat dinikmati dan mungkin berjalan lambat seperti yang adik bilang”. Apa yang dikatakan oleh bapak ini sungguh sederhana, tapi saya mengerti dan terus memikirkannya sampai saya tiba kembali di Bandung.
            Adalah benar bahwa kita telah melakukan pengabdian masyarakat di sana. Bahwa kita telah mengajari mereka membuat kemasan. Bahwa kita telah mengajari mereka membumbui kecimpring dengan berbagai rasa. Bahwa kita telah membantu memasarkan dan memberi nilai tambah yang ujung-ujungnya adalah kenaikan taraf hidup dan ekonomi masyarakat di sana. Namun tidak dapat dipungkiri juga, bahwa mereka juga telah mengajarkan kita, baik secara langsung maupun tidak langsung, telah mengajarkan apa arti kehidupan, dan bagaimana hidup itu harus selalu disikapi dengan arif dan bijaksana.
Ciparay, 25 Mei 2011

No comments:

Post a Comment

Feel free to put on your thoughts about my writings :)