"Do you ever feel, like a plastic bag….drifting through the wind….wanting to start
again….”
Seperti
biasa, ringtone Firework-Katy Perry
dari HP ku memecah keheningan di pagi yang dingin. Dengan setengah sadar aku
mendongak ke arah jam weker, hemm jam 4 pagi. Aku tahu siapa yang menelepon.
Seperti
yang ku duga, foto Mama muncul di layar HP ku.
“Halo,
Ma….aku udah bangun kok…makasih ya.” Jawabku. Jawaban yang sama setiap hari,
setiap pagi.
“Oh
sudah bangun ya, Boru (panggilan
sayang untuk anak perempuan dalam bahasa Batak, ya aku bersuku batak). Jangan
lupa berdoa dan belajar ya, Sayang.” Suara yang sama dengan jawaban yang sama
di ujung telepon menanggapi ucapanku barusan.
Klik.
Telepon diputus.
Begitulah
pagiku dimulai. Selalu.
***
Oh
ya aku belum memperkenalkan diriku. Namaku Santi. Aku mahasiswa tingkat akhir
di sebuah institut teknik di kota Bandung. Sejak aku tingkat pertama hingga
hari ini, Mama tidak pernah absen menelepon setiap pagi hanya untuk
membangunkanku. Hmm, pernah sih
absennya, dan biasanya itu disebabkan oleh aku yang tidak sengaja meninggalkan
HP ku dalam kondisi lowbatt, sehingga
HP ku mati di waktu yang seharusnya Mama menelepon.
Mama
itu….bagaikan matahari bagiku. Beliau adalah alasanku untuk bangun setiap pagi
dan berjuang menghadapi tantangan yang selalu ada setiap hari. Mama tahu isi
hatiku bahkan sebelum aku menceritakannya. Mama tahu kalau aku sakit bahkan
saat aku menyembunyikannya. Mama lah yang selalu mengajariku untuk bersabar dan
menjadi wanita yang baik di depan pacarku. Fiuh, tidak ada yang bisa
menggantikan keberadaan Beliau.
Rasa
sayang dan hormatku pada mama belum
sebesar ini saat aku kecil. Masa kecilku di Palembang lebih sering
kuhabiskan oleh pembantu dan adik Papa ku. Mama sibuk bekerja di sebuah Bank
swasta. Meskipun Mama sibuk bekerja, Mama selalu menyempatkan dirinya untuk
menguncir rambutku di pagi hari, makan siang bersama keluarga di siang hari,
dan menyanyikan lagu gereja sebagai pengantarku tidur. Aku masih ingat saat aku
masih belum sekolah, setiap hari Sabtu Mama selalu menyempatkan dirinya untuk
mengajakku bermain ke taman bermain di dekat rumah, lengkap dengan bekal makan
siang, seolah-olah kami sedang piknik. Hanya aku dan Mama, setiap Sabtu pagi.
Rasa
sayangku pada Mama harus diuji saat suatu ‘ujian’ terjadi.
Mama
tiba-tiba merasa tidak enak badan. Beliau memang punya garis keturunan
diabetes, namun selama ini penyakit itu belum pernah mengganggu Mama. Mama
hanya mengeluh kalau beliau sakit maag, karena pekerjaan sebagai akuntan di
Bank sekaligus sebagai ibu dari 3 anak membuat Mama melupakan kesehatannya
sendiri dengan makan makanan yang tidak sehat seperti mie instan dengan jadwal
makan yang juga tidak teratur.
Saat
itu aku baru kelas 2 SMP. Hari itu mama izin cuti dari tempat kerja beliau dan
pergi ke rumah sakit bersama Papa. Aku tidak punya firasat apapun sebelumnya.
Ketika pulang sekolah, aku bingung mengapa rumah masih kosong. Sekitar pukul
14.00 Papa dan Mama pulang dari RS. Papa menggotong Mama yang terlihat sangat
lemah dan pucat. Aku cuma bisa terdiam melihat Papa dengan wajah panik
membaringkan Mama di tempat tidur.
“San,
ambilkan mama makanan ya.” ujar Papa.
Aku
kembali ke kamar dengan sepiring makanan beserta lauknya. Papa berusaha
menyuapi Mama, tapi Mama hanya menggeleng lemah.
Tiba-tiba
saja Mama muntah hebat.
“San,
ambil baskom, cepat.” perintah Papa dengan nada khawatir.
Hanya
dalam hitungan detik, yang terasa selamanya, aku melihat Mama muntah hebat. Aku
masih ingat bahkan muntahan mama tidak tampak seperti muntahan makanan,
melainkan berwarna hijau tua. Setelah aku SMA aku tahu bahwa cairan hijau itu
adalah asam lambung.
Mama
pun pingsan. Papa membopong tubuh mama ke mobil menuju rumah sakit di dekat
rumahku.
Saat
itu pukul 18.45. Aku yang masih shock,
hanya bisa menghabiskan malamku dalam diam dan penuh pertanyaan kepada Tuhan. Mengapa Engkau sejahat itu pada Mamaku?
***
Keesokan
harinya Papa sudah di rumah lagi. Mama diopname, begitu berita Papa. Aku hanya
bisa menanggapi berita itu dalam diam.
Sorenya,
aku diajak Papa menjenguk Mama di rumah sakit. Disana, kulihat mama terbaring
lemah, pucat, dan ringkih. Beliau tidak seperti mama yang biasanya, yang segar,
enerjik, dan berseri-seri.
“Mama
udah sehat belum?”
“Sudah,
mama sudah baikan…”
“Ya
udah kalo gitu yuk pulang. Tidur di rumah aja.” aku yang masih polos menarik
tangan Mama.
“Maaf
ya, sayang….karena Mama disini, jadi tidak ada yang mengepang rambut
Santi,” ujar Mama sambil mengelus
kepangan rambutku yang berantakan. Ya, aku menghabiskan 1 jam pagi ini di depan
kaca untuk berusaha menguncir sendiri rambutku.
“Ma,
mau ke toilet, ngga?”
“Iya,
Pa.”
Papa
pun mendekat ke tempat tidur Mama.
“Papa
ngapain nganter Mama ke toilet, kan toiletnya deket, Mama kan bisa jalan sendiri,” potongku.
Papa,
Mama, abang, dan adik Papa ku tiba-tiba diam. Atmosfer ruangan menjadi aneh.
Papa,
seolah tidak mendengar protesku, tetap mendekat ke tepi ranjang dan memapah
Mama ke toilet. Bahkan Papa ikut masuk ke dalam toilet.
Aku
merasa ada yang tidak beres.
Keluar
dari toilet, aku bertanya pada Papa,”Mama kenapa?”
Wajah
Mama tampak seperti ingin menangis.
“Tangan
dan kaki kiri Mama tidak bisa digerakkan dulu untuk sementara ini, Dek” ujar
papa sambil memegang bahuku.
“Memang
mama sakit apa? Bukannya mama sakit maag?”
“Mama
kena stroke.”
Aku
yang dulu belum tahu stroke itu sakit apa. Tapi yang ku tahu dari iklan di TV,
stroke adalah penyakit yang mengerikan yang bisa menyebabkan kematian.
“Jadi
Mama sekarang ga bisa jalan?” tanyaku dengan putus asa.
Aku
menghambur keluar kamar sebelum pertanyaanku dijawab dan berlari sampai ke
rumah sambil menangis.
***
Masa
SMP adalah masa puber, dimana seorang anak perempuan mulai mengalami banyak hal
untuk menjadikannya menjadi seorang wanita, mulai dari cinta monyet, menstruasi, jerawat, sampai mulai munculnya
kekhawatiran akan penampilan. Saat itu, aku bagaikan seorang single fighter, karena tidak ada yang
bisa kutanyai. Kakakku yang perempuan sudah berkuliah ke luar kota, sedangkan
Mama setiap hari hanya berbaring di tempat tidur. Sejak Mama sakit, aku jadi
jarang berkomunikasi dengan Mama. Selain karena memang Mama sulit diajak
berkomunikasi karena stroke beliau, aku merasa Mama tidak bisa berperan
sebagaimana mama yang kuinginkan. Aku ingin seorang Mama yang bisa mengurusku,
bukan sebaliknya, aku yang mengurus beliau, di usiaku yang masih sangat muda. Ya, semenjak mama dirawat di rumah,
tidak jarang aku yang ditugaskan untuk memasak makanan untuk mama, menyuapi
mama, mengambilkan barang ini-itu, membantu mama berjalan, dan lain sebagainya.
Berkomunikasi dengan Papa? Hanya formalitas saja. Perhatian Papa dan semua
orang di rumah tercurah hanya untuk Mama. Aku kesal, mengapa di saat
teman-temanku bisa memamerkan betapa menyenangkannya Ibu mereka saat menemani
mereka membeli aksesori rambut di mall atau membelikan baju-baju yang cantik,
aku tidak bisa mengatakan yang sama.
Ketika
ujian nasional SMP, aku belajar sebaik-baiknya demi mendapatkan nilai yang
terbaik, dan memang aku mendapatkan peringkat 1 umum di sekolah. Mengapa aku
bekerja sedemikian keras? Aku memiliki 2 alasaan. Pertama, aku ingin membalas
kekesalanku pada teman-temanku yang selama ini membuatku iri karena
cerita-cerita menarik mereka tentang Ibu mereka. Aku ingin membuktikan bahwa
tanpa memiliki kesempatan bersenang-senang dengan Mama seperti yang mereka
lakukan, aku masih bisa memperoleh prestasi yang gemilang. Kedua, aku ingin
masuk ke sebuah SMA berasrama unggulan di Jawa Tengah. Padahal dulunya aku
tidak mau masuk ke sana, dengan alasan ini-itu. Namun, semenjak rumah menjadi
tempat yang sepi, aku memutuskan untuk menjauh dari semuanya dan ‘mengasingkan
diri’ ke sekolah berasrama. Selain itu, bersekolah di SMA Taruna Nusantara,
nama sekolah itu, menjadi alasan lain untukku tidak harus berkomunikasi dengan
Mama. Kupikir, dengan bersekolah di asrama aku bisa menjadi mandiri dan
melupakan Mama. Namun ternyata, tidak semua yang kupikirkan benar.
Begitu
merasakan bersekolah di asrama, bukannya melupakan Mama, aku justru semakin
merindukan Beliau. Disaat kami berjauhan, komunikasi antara aku dan mama malah
semakin baik. Setiap minggu aku selalu menyempatkan diri untuk pergi ke wartel
dan menelepon Mama. Segala hal kuceritakan, mulai dari keluhan-keluhanku karena
semua harus dilakukan secara mandiri hingga menceritakan kakak kelas yang
kukagumi. Selain itu, semenjak hantaman ujian sakitnya mama, keluarga kami juga
semakin bertumbuh secara rohani. Aku memutuskan untuk menjadi pengajar di
sekolah minggu gereja di dekat sekolahku. Selain itu, melalui telepon aku tahu
kalau Papa sudah mulai melayani di gereja sebagai majelis. Aku mulai menyadari
bahwa mungkin Tuhan memang mengizinkan semua ini terjadi agar kami semakin
saling menyayangi satu sama lain dan semakin mendekat padaNya.
***
Suatu
sore di Bandung, selepas kegiatan perkuliahanku, aku menyempatkan diri
menelepon Mama.
“Halo
Ma, lagi ngapain? Sudah makan belum?”
“Sudah
kok. Nanti Santi mau dibangunin lagi nggak, Nak? Maaf ya tadi Mama kesiangan
bangun, jadi nggak bisa bangunin.”
“Iya
Ma gapapa. Aku tadi juga pasang weker kok. Eh, ga usah ma. Nanti mama jadi
malah harus bangun pagi-pagi untuk ngebangunin aku….kan mama harus tidur cukup.”
“Jangan
gitu, Nak. Mama punya kebanggaan kalau Mama bisa ngebangunin Santi. Mama kan tidak
bisa mengunjungi Santi ke Bandung sering-sering, seperti mamanya teman-teman
Santi, soalnya Mama kan tidak kuat
jalan lama-lama. Mama juga tidak bisa kasih Santi uang jajan dan membelikan
baju baru, karena Mama tidak bekerja, kan. Jadi, cuma ini yang bisa Mama
lakukan ya, Nak. Maafkan mamamu ini ya. Cuma dari cara ini mama bisa merasa
berguna untuk Santi. Jadi jangan dilarang ya mama, Nak.”
Air
mataku menetes.
“Ya,
Ma. Kalau gitu, bangunin aku seperti biasa ya. Dah mama….”
“Iya,
Nak.”
“Eh,
Ma…selamat hari Ibu, aku sayang Mama.”
***
Kalau
orang lain boleh punya Mama yang cantik, Mama yang bisa membelikan apa saja, atau
Mama yang bisa menjadi fashion guru, aku punya Mama, yang ditengah
perjuangannya memulihkan dirinya dari sakit stroke dan diabetes, setia
membangunkanku SETIAP HARI, setiap jam 4 pagi.
What
a wonderful woman you are, Mom.
No comments:
Post a Comment
Feel free to put on your thoughts about my writings :)