Karena satu dan lain hal (terutama karena kepraktisan dan kemudahan ngebuka web nya), setelah bertahun-tahun memakai platform blogger.com a.k.a blogspot sebagai tempat bernaungnya blog gw, dengan berat hati gw akhirnya harus berpindah ke kompetitor sebelah....so if y'all lagi iseng mau kepoin scribbles gw, dengan senang hati silakan kunjungi https://rinnasijabat.wordpress.com.
tapi tenang aja, blog ini ga akan gw hapus. this is my first blog where it contains sooooo many memories I myself could not remember in details! I will gradually move all my writings to the other blog, so later this site will be just my "landmark/milestone/symbol" of my blogging hobby that one day I hope I may show this to my beloved child(s) to make them motivated to start one without doubt.
more updates, visit https://rinnasijabat.wordpress.com
:)
Santi's Scribble
This blog contains all my thoughts about everything. Love, friendship, family, politics, economy, environment, colleges, diplomacy, gossip n entertainment, country n stuff, or maybe just a crazy idea which is unspoken in my real life. This is my think tank. No matter people see me as an outspoken, I just want to bring out whats on my mind here. Why? because this is the time that your voice, your thoughts, and your feelings to be heard by anyone by using any sort of media.
Sunday, July 03, 2016
Monday, January 04, 2016
Urutan Kepangkatan dan Golongan dalam PNS
Sebagai PNS, saya sendiri suka lupa kalo sudah disuruh nyebutin pangkat dan golongan. It is always ended up dengan googling, hahahaha. Daripada bolakbalik googling kesana kemari, mending ditulis di blog sendiri aja deh ya, siapa tau bisa jadi reminder dan info buat temen-temen yang lain. So, here it is.
Semoga berguna :)
Semoga berguna :)
KeyWord:
All about PNS,
golongan PNS,
pangkat PNS,
Pegawai Negeri Sipil
Tuesday, September 08, 2015
Latah Lingkungan, Wabah Berbahaya di Usia 20an
Lo anak usia 20tahunan, aktif menggunakan social media dan suka kepo sama status temen-temen lo? Hati-hati, karena bisa aja secara tidak sadar lo hampir terjangkit (atau bahkan sudah terlanjur terkena) wabah Latah Lingkungan.
Latah lingkungan itu definisi gue buat keinginan yang lo pikir muncul dari diri lo sendiri, tapi sebenernya engga. Keinginan itu muncul bisa dari efek lo ngebacain status update Path temen kuliah lo, ngeliatin foto instagram temen SMA lo, atau hasil gosip bareng temen kerja lo. Hampir terjangkit artinya lo udah mulai kepengenan atau bahkan sampe terobsesi. Sudah terjangkit? Artinya lo bahkan sudah mengalami, merasakan, dan menjalaninya sendiri dengan secuil rasa pertanyaan di pojok perasaan: why on earth I am doing this, yang selalu berhasil lo tepis dengan (salah satu caranya mungkin) ngepost postingan serupa temen lo tapi bedanya subjek di foto/post/thread adalah elo.
Dulu, gue pikir gue bukan tipe orang yang gampang latah lingkungan, dalam artian ketika temen-temen gue pada beli lipstick 500ribuan, pake gopro, mulai pada dilamar/melamar/menikah/punya anak, rajin ikut run-run ala ala, dsb dsb....gue ngga latah tuh pengen ikut-ikutan. Ciyus, gue bahkan mendeklarasikan ke diri gue bahwa gue anti latah lingkungan. Tapi ternyata gue salah. Sebuah weekend simpel bikin gue sadar bahwa gue tak ada ubahnya dengan orang-orang kebanyakan yang gue cibir diam-diam sebagai org yang terjangkit wabah latah lingkungan.
Weekend dimulai karena ketidaksengajaan. Rabu kemarin di wisma tempat gue diklat di Cepu ada insiden dikit. Insidennya nanti gue ceritain belakangan. Pokoknya karena insiden itu gue jadi waswas buat tidur di wisma. Soalnya gue sekamar sendirian, cewe sendiri dari total 11 peserta diklat (yang separuhnya adalah seumuran om gue yang tentu saja selalu pulang ke keluarga mereka di Jakarta tiap weekend). Sisa peserta yang lain yang masih lajang berniat main ke Jogja. Karena ga mau ditinggal sendiri, jadilah gue ikut ngabur ke Jogja. Untung ada temen SMA gue yang baik hati yang mau numpangin gue di rumahnya di daerah Godean. Bukannya gue se-pelit itu buat book kamar sendiri di hotel, tapi gue terlalu parno (saat itu) buat tidur sendiri (ya karena insiden itu).
Hari pertama gue dijemput temen SMA gue ini (sebut saja Ayu, bukan nama sebenarnya) di stasiun Tugu. Kami langsung cuss ke rumahnya karena nanggung juga mau makan karena itu sore-sore dan gue lumayan capek karena pagi-siangnya gue ada visit dulu di TBBM Pertamina di Madiun (diklat mengharuskan gue kesana kemari buat belajar, yeah). Setelah tanya kabar sana-sini, gue jadi tau kalo Ayu ternyata baru mulai S2 ambil magister manajemen di sebuah universitas swasta bagus di Bandung. Dia S2 sambil kerja, kelas malem, dan biaya 50% bayar sendiri (sisanya dibayarin perusahaannya). Apakah disitu gue jadi pengen buat S2 setelah denger cerita Ayu? Belum...gue salut banget sama Ayu yang bela-belain keluar duit sendiri dan ngabisin tiap malem senin-jumat buat belajar. Gue belum sampe tahap pengen, baru sampe tahap mempertanyakan kok gue ga pernah punya niat dan nyali segede dia ya,,,,
sampe tahap ini gue (masih) sok mengatakan bahwa gue anti latah
Besoknya gue janjian sama adeknya pacar gue (sebut saja Jati, bukan nama sebenarnya juga). Si Jati ini anak semester 3 jurusan FK di kampus kebanggan Jogja. Selama 5 tahun gue pacaran sama abangnya, sebenernya ga pernah gue berinteraksi langsung sama dia. Cuma, entah kenapa gue rasa sebagai pacar yang baik (ceilah) dan karena lagi senggang juga, ya gue ajak ketemu aja. Singkat cerita gue ketemu dia, makan dan ngobrol. Dari situ gue tau dia ngambil aktivitas ini itu dan jadi panitia ospek di jurusannya. Sekilas gue merasa flashback ke kehidupan gue di awal kuliah yang haus ambil bagian disana-sini, sibuk kanan kiri tapi tetap happy. Sepanjang dia cerita kehidupannya, gue makin wondering ke diri sendiri, terkubur dimanakah semangat gue yang dulu waktu awal kuliah berkobar-kobar. Gue terus mendengarkan omongannya sambil melamun sampai dia bertanya,
"Kalo Kak Santi, mimpinya apa?"
"Hah? Gue? Hmm....jadi ibu rumah tangga yang baik, punya anak sehat dan pinter, hidup tenang dan bahagia." jawab gue semi reflek dan kaget sama jawaban gue sendiri. Why on earth I can speak like that!
Mukanya tampak ngga puas dan mengernyit seakan ngga percaya itu mimpi gue. Sumpah, kalo ada cermin, mungkin gue bisa melihat muka gue menunjukkan reaksi yang serupa.
"ngga deng, ada aja. ngga gue banget itu mah hahaha", tutup gue sambil berusaha menyembunyikan kekagetan diri sendiri.
dia ngga nanya lebih lanjut. tapi mukanya ngga berubah, masih seolah nanya: masa sih? gue ga percaya. itu kayanya ga lo banget deh
....dan di detik itu gue memang menyadari bahwa apa yang barusan gue ucapkan jelas bukan mimpi gue. Itu mimpi orang-orang di sekitar gue yang secara langsung ataupun tidak sudah membuat gue, yang tadi awalnya bilang anti latah, menjadi latah dan mengcopas mimpi mereka sebagai mimpi gue, hanya agar gue dipandang normal sama khalayak di lingkungan sekitar gue beraktivitas sekarang (Tolong ini jangan disalah-artikan bahwa gue memandang keinginan seorang wanita untuk jadi ibu rumah tangga, punya anak sehat dan pintar bukanlah mimpi yang keren. Big No. Gue menghargai mimpi kalian semuaaa).
Si Jati ini udah kenalan sama gue dari 5 tahun yang lalu, mungkin sedikit banyak dia tau tentang gue dari abangnya, mungkin....jadi mungkin pemahaman dia tentang gue dari abangnya-lah yang melatarbelakangi kernyitan dia yang begitu jujur dan tanpa beban, yang akhirnya menohok gue sampe membuat gue terbangun dan malu sama ucapan gue sendiri. Di beberapa saat perenungan setelah pertemuan sama Jati, gue jadi inget pacar gue pernah beberapa kali komentar saat kami lagi diskusi soal mimpi dan ambisi masa depan.
"Kamu kok ngga kaya Santi yang dulu aku kenal sih."
"Mungkin aku hanya lebih realistis sekarang, Bang"
"Hmmm...."
"Kenapa? Kamu ngga suka aku yang sekarang?"
"Ngga kok gapapa...."
mungkin...mungkin dia ngga enakan mau ngomentarin langsung betapa gue ngga menjalani hidup gue sendiri dan menghidupi mimpi gue sendiri. Mungkin dia mau jaga perasaan gue dan hubungan kami. Tapi puji Tuhan, ada hikmahnya gue ketemu adiknya di Jogja kemarin. Respon jujurnya mengingatkan gue kembali sama komentar-komentar tersirat pacar gue dulu.
Besoknya pas pulang gereja, Jati ngasih gue semacam gantungan kayu yang ada tulisan kanji jepang yang bertuliskan 'yume' yang artinya 'mimpi'. Ini adik sama abang gue yakin saudara kandung nih, sama-sama suka ngomong tersirat. Mungkin semacam buat menyemangati gue dan respon lanjutannya atas keheranan dia akan mimpi gue yang kayanya ngga gue banget. Mungkin juga karena sempatnya beli gantungan itu doang ya hahaha. Anyway, gantungan itu gue jadiin monumen atas kesadaran gue bahwa gue sudah hampir terjangkit latah lingkungan dan mulai sekarang akan start clean dan fokus merancang mimpi yang memang gue inginkan.
Nah, kalo lo gimana? Kira-kira udah mulai terjangkit belum?
Latah lingkungan itu definisi gue buat keinginan yang lo pikir muncul dari diri lo sendiri, tapi sebenernya engga. Keinginan itu muncul bisa dari efek lo ngebacain status update Path temen kuliah lo, ngeliatin foto instagram temen SMA lo, atau hasil gosip bareng temen kerja lo. Hampir terjangkit artinya lo udah mulai kepengenan atau bahkan sampe terobsesi. Sudah terjangkit? Artinya lo bahkan sudah mengalami, merasakan, dan menjalaninya sendiri dengan secuil rasa pertanyaan di pojok perasaan: why on earth I am doing this, yang selalu berhasil lo tepis dengan (salah satu caranya mungkin) ngepost postingan serupa temen lo tapi bedanya subjek di foto/post/thread adalah elo.
Dulu, gue pikir gue bukan tipe orang yang gampang latah lingkungan, dalam artian ketika temen-temen gue pada beli lipstick 500ribuan, pake gopro, mulai pada dilamar/melamar/menikah/punya anak, rajin ikut run-run ala ala, dsb dsb....gue ngga latah tuh pengen ikut-ikutan. Ciyus, gue bahkan mendeklarasikan ke diri gue bahwa gue anti latah lingkungan. Tapi ternyata gue salah. Sebuah weekend simpel bikin gue sadar bahwa gue tak ada ubahnya dengan orang-orang kebanyakan yang gue cibir diam-diam sebagai org yang terjangkit wabah latah lingkungan.
Weekend dimulai karena ketidaksengajaan. Rabu kemarin di wisma tempat gue diklat di Cepu ada insiden dikit. Insidennya nanti gue ceritain belakangan. Pokoknya karena insiden itu gue jadi waswas buat tidur di wisma. Soalnya gue sekamar sendirian, cewe sendiri dari total 11 peserta diklat (yang separuhnya adalah seumuran om gue yang tentu saja selalu pulang ke keluarga mereka di Jakarta tiap weekend). Sisa peserta yang lain yang masih lajang berniat main ke Jogja. Karena ga mau ditinggal sendiri, jadilah gue ikut ngabur ke Jogja. Untung ada temen SMA gue yang baik hati yang mau numpangin gue di rumahnya di daerah Godean. Bukannya gue se-pelit itu buat book kamar sendiri di hotel, tapi gue terlalu parno (saat itu) buat tidur sendiri (ya karena insiden itu).
Hari pertama gue dijemput temen SMA gue ini (sebut saja Ayu, bukan nama sebenarnya) di stasiun Tugu. Kami langsung cuss ke rumahnya karena nanggung juga mau makan karena itu sore-sore dan gue lumayan capek karena pagi-siangnya gue ada visit dulu di TBBM Pertamina di Madiun (diklat mengharuskan gue kesana kemari buat belajar, yeah). Setelah tanya kabar sana-sini, gue jadi tau kalo Ayu ternyata baru mulai S2 ambil magister manajemen di sebuah universitas swasta bagus di Bandung. Dia S2 sambil kerja, kelas malem, dan biaya 50% bayar sendiri (sisanya dibayarin perusahaannya). Apakah disitu gue jadi pengen buat S2 setelah denger cerita Ayu? Belum...gue salut banget sama Ayu yang bela-belain keluar duit sendiri dan ngabisin tiap malem senin-jumat buat belajar. Gue belum sampe tahap pengen, baru sampe tahap mempertanyakan kok gue ga pernah punya niat dan nyali segede dia ya,,,,
sampe tahap ini gue (masih) sok mengatakan bahwa gue anti latah
Besoknya gue janjian sama adeknya pacar gue (sebut saja Jati, bukan nama sebenarnya juga). Si Jati ini anak semester 3 jurusan FK di kampus kebanggan Jogja. Selama 5 tahun gue pacaran sama abangnya, sebenernya ga pernah gue berinteraksi langsung sama dia. Cuma, entah kenapa gue rasa sebagai pacar yang baik (ceilah) dan karena lagi senggang juga, ya gue ajak ketemu aja. Singkat cerita gue ketemu dia, makan dan ngobrol. Dari situ gue tau dia ngambil aktivitas ini itu dan jadi panitia ospek di jurusannya. Sekilas gue merasa flashback ke kehidupan gue di awal kuliah yang haus ambil bagian disana-sini, sibuk kanan kiri tapi tetap happy. Sepanjang dia cerita kehidupannya, gue makin wondering ke diri sendiri, terkubur dimanakah semangat gue yang dulu waktu awal kuliah berkobar-kobar. Gue terus mendengarkan omongannya sambil melamun sampai dia bertanya,
"Kalo Kak Santi, mimpinya apa?"
"Hah? Gue? Hmm....jadi ibu rumah tangga yang baik, punya anak sehat dan pinter, hidup tenang dan bahagia." jawab gue semi reflek dan kaget sama jawaban gue sendiri. Why on earth I can speak like that!
Mukanya tampak ngga puas dan mengernyit seakan ngga percaya itu mimpi gue. Sumpah, kalo ada cermin, mungkin gue bisa melihat muka gue menunjukkan reaksi yang serupa.
"ngga deng, ada aja. ngga gue banget itu mah hahaha", tutup gue sambil berusaha menyembunyikan kekagetan diri sendiri.
dia ngga nanya lebih lanjut. tapi mukanya ngga berubah, masih seolah nanya: masa sih? gue ga percaya. itu kayanya ga lo banget deh
....dan di detik itu gue memang menyadari bahwa apa yang barusan gue ucapkan jelas bukan mimpi gue. Itu mimpi orang-orang di sekitar gue yang secara langsung ataupun tidak sudah membuat gue, yang tadi awalnya bilang anti latah, menjadi latah dan mengcopas mimpi mereka sebagai mimpi gue, hanya agar gue dipandang normal sama khalayak di lingkungan sekitar gue beraktivitas sekarang (Tolong ini jangan disalah-artikan bahwa gue memandang keinginan seorang wanita untuk jadi ibu rumah tangga, punya anak sehat dan pintar bukanlah mimpi yang keren. Big No. Gue menghargai mimpi kalian semuaaa).
Si Jati ini udah kenalan sama gue dari 5 tahun yang lalu, mungkin sedikit banyak dia tau tentang gue dari abangnya, mungkin....jadi mungkin pemahaman dia tentang gue dari abangnya-lah yang melatarbelakangi kernyitan dia yang begitu jujur dan tanpa beban, yang akhirnya menohok gue sampe membuat gue terbangun dan malu sama ucapan gue sendiri. Di beberapa saat perenungan setelah pertemuan sama Jati, gue jadi inget pacar gue pernah beberapa kali komentar saat kami lagi diskusi soal mimpi dan ambisi masa depan.
"Kamu kok ngga kaya Santi yang dulu aku kenal sih."
"Mungkin aku hanya lebih realistis sekarang, Bang"
"Hmmm...."
"Kenapa? Kamu ngga suka aku yang sekarang?"
"Ngga kok gapapa...."
mungkin...mungkin dia ngga enakan mau ngomentarin langsung betapa gue ngga menjalani hidup gue sendiri dan menghidupi mimpi gue sendiri. Mungkin dia mau jaga perasaan gue dan hubungan kami. Tapi puji Tuhan, ada hikmahnya gue ketemu adiknya di Jogja kemarin. Respon jujurnya mengingatkan gue kembali sama komentar-komentar tersirat pacar gue dulu.
Besoknya pas pulang gereja, Jati ngasih gue semacam gantungan kayu yang ada tulisan kanji jepang yang bertuliskan 'yume' yang artinya 'mimpi'. Ini adik sama abang gue yakin saudara kandung nih, sama-sama suka ngomong tersirat. Mungkin semacam buat menyemangati gue dan respon lanjutannya atas keheranan dia akan mimpi gue yang kayanya ngga gue banget. Mungkin juga karena sempatnya beli gantungan itu doang ya hahaha. Anyway, gantungan itu gue jadiin monumen atas kesadaran gue bahwa gue sudah hampir terjangkit latah lingkungan dan mulai sekarang akan start clean dan fokus merancang mimpi yang memang gue inginkan.
Nah, kalo lo gimana? Kira-kira udah mulai terjangkit belum?
KeyWord:
random,
Renungan,
social media,
todaysinsight
Thursday, August 13, 2015
Antara Saya, Dunia Modern, dan Mukzizat.
It's been so long time for me to again post a writing in here. Banyak alasan untuk ngga nulis disini lagi (selain males tentunya, LOL). Tapi itu bukan berarti I didn't make note to what things that I counted as interesting topics to be written here....termasuk alasan kenapa lebih dari setahun saya vakum nulis. tapi mari itu dikesampingkan dulu dan back to topic.
Dunia modern. Penuh teknologi. Dimana-mana serba digital, praktis, dan instan. Mau beli tiket pesawat, bayar tagihan listrik, sampai ngepoin temen bisa lewat satu gadget saja, dan bisa dilakukan bersamaan. Luar biasa. I am really into this modern thing. Can't live without it. Bangun tidur yang pertama dicek bukannya apa badan masih utuh atau ngga, tapi notif di Path isinya brapa banyak yang nge-love, hahaha.
Dunia modern juga (buat saya) identik dengan ibukota. Jetset, borju, fancy, mewah, apalah apalah. Setahun lebih tinggal di ibukota Jakarta ini, bikin saya mau ngga mau ikut terseret dengan tipikal kehidupannya yang apa-apa mahal (mulai dari nongkrong doang sampe kondangan). Terkadang saya kangen live a simple life seperti kalo mau makan belimbing tinggal petik di depan rumah dan bukan beli dulu ke supermarket, atau kalo mau jogging di sekitar rumah ga perlu khawatir diserempet mobil atau malah jadi kanker paru-paru krn disemprot asap knalpot.
Dunia modern sekilas membuat saya beranggapan bahwa segalanya terasa bisa diukur dan dilogikakan. Pengen hidup kaya dan terjamin di hari tua? cari financial planner dan terapkan advice nya. Mau jadi pengusaha? siapkan dulu penghasilan 3 tahun jadi safety income.....dan semua aturan dan perhitungan lainnya yang penuh logika dan....uang. Dunia modern juga membuat saya jadi gampang sirik sama org lain. Kemudahan mencari tahu kabar teman2 via social media kadang jadi batu sandungan juga. Duh si A udah jalan-jalan ke raja ampat aja, aduh si B udah S2 ke amrik aja, aduh si C udah punya suami tajir....
Dunia modern membuat saya cenderung memaksimalkan kerja otot dan otak saya, tapi meminimalkan kerja iman saya. Dunia modern membuat saya melupakan yang namanya mukzizat (kuasa Tuhan).
Setidaknya sampai awal Januari 2015. Tepatnya 2 Januari 2015, waktu mama saya masuk rumah sakit untuk kesekian kalinya. Penyebabnya? duh panjang, tapi intinya dilatarbelakangi duo maut hipertensi dan diabetes....jadilah mama collapse dan masuk RS. Pas pula sakitnya di Pekanbaru, jadi dirawat di RS tempat kakak saya kerja. Long story short, di ICU mama sempat kena stroke lagi waktu ICU, sempat pulih, di ruang opname, EKG mama sempat garis lurus (alias ngga ada pulse) selama 15 menit sampai akhirnya koma lagi, balik ke ICU sampe akhirnya bisa pulang ke Palembang 2 minggu kemudian. Biaya? di atas kertas itu ratusan juta. But big thanks to BPJS Kesehatan dan pelayanan RS Awal Bross Pekanbaru yang membuat beban ratusan juta itu terlepas dari pundak kami.
Terkesan biasa? NOPE. Miracle happened. Mukzizat terjadi. Let me give you some details
1. Di RS tempat mama dirawat, penanggungan biaya BPJS baru dimulai tanggal 2 januari 2015 pkl. 00.00, dan mama saya masuk beberapa jam setelah itu. Kalo aja mama masuknya tgl 1 pkl 23.55, BPJS blm berlaku dan kami harus menanggung sendiri ratusan juta biaya rumah sakit.
2. Pulse mama sempat garis lurus 15 menit. Full stop. dan stop nya bukan di ICU yang peralatan medisnya lengkap dan alat shock jantungnya cuma berjarak sejengkal. Kejadiannya di bangsal ruang opname. Loh kok bisa ketolong? Di hari yang sama, temen2 kakak saya yang dokter dan suster entah kenapa sepakat buat sarapan bareng di ruang kamar tempat mama saya dirawat skalian mau besuk mama. Di saat mereka asik sarapan, it happened. Ada kali sekitar 5 dokter umum yang entah gimana caranya (saya cuma diceritain soalnya), mompa dada mama biar jantungnya berdetak lagi dsb dsb nonstop sampe 15 menit mereka berjuang demi ada pulse lagi di EKG. Kabarnya kakak saya (yang dokter juga) udah cuma bisa terduduk di pojokan karena ga sanggup ngeliat peristiwa itu.
Udah, itu aja? No. Ngga berhenti sampai disitu. Di 2015 ini kayaknya hidup kami gaakan berlanjut karena campur tangan Tuhan. Sekitar awal Juli, tiba-tiba saya yang lagi dinas di Luwuk ditelpon kakak saya yang sambil nangis mengabarkan kalau Papa saya masuk RS karena stroke. Jujur, malam itu langit terasa jauh lebih gelap. Papa. Satu-satunya harapan yang bisa kami pegang untuk merawat mama. Yang disesalkan adalah Papa ngga punya savings sama sekali karena semua uang pensiunnya lenyap akibat investasi gagal Cipaganti. Asuransi juga ngga ada kecuali ASKES sisa dari kantornya dulu beliau bekerja, yang sudah di-down grade jadi BPJS. Otomatis biaya murni dari kami anak-anaknya. Puji Tuhan papa ngga parah dan bisa balik setelah opname seminggu. Disini saya pun ga habis pikir sama rencana dan kuasa Tuhan. Papa pagi itu mengeluh pusing dan susah ngomong, lalu beliau inisiatif pergi ke dokter untuk CT scan (atas saran kakak). Dari hasil CT scan beliau ternyata sedang terkena stroke! Beliau diminta opname saat itu juga. Tapi (beliau bilang) karena mama sendirian di rumah, he insisted to go back to home, drove the car by himself. Logika bilang itu agak ajaib bisa ngga tabrakan atau kecelakaan tunggal pas nyetir dg kondisi otak kena stroke. Tapi beliau masih bisa nelpon ke kakak dan akhirnya kakak minta tolong sama relatives di Palembang buat anterin Papa ke RS. Jelas, mau ga mau kami harus menerima kenyataan bahwa, meskipun Papa bisa sembuh, tanggung jawab kami jelas akan jadi dobel mulai sekarang.
Dan Tuhan Yesus memang The Best Planner Ever. Di saat Papa sakit itulah saya jadi punya pikiran untuk meng-audit cashflow rumah tangga. It turns out utang kartu kredit Papa udah mencapai puluh juta. Ternyata selama ini pengeluaran (especially untuk operasional kesehatan mama) gede banget sampe gaji pensiun dan kiriman musiman dari anak-anaknya ngga nutup pengeluaran.
Hari itu saya merasa malu sama diri saya sendiri. Malu karena bisa-bisanya saya punya tabungan disaat Papa saya berhutang ke bank.
dan hari itu juga saya berjanji dengan diri saya sendiri bahwa utang Papa akan saya lunasi.
Dua minggu setelah Papa pulang dari rumah sakit, saya balik ke Palembang dan ngajak Papa ngobrol 4 mata soal utang ini. Have I ever see my Daddy cried that bad? No, I haven't. Malam itu saya baru menyadari betapa lelah sorot matanya yang selama ini menyembunyikan kelemahannya.
Dua hari yang lalu, 95% utang kartu kreditnya sudah saya bayarkan ke Bank.
Kalau mau mengikuti ego dan kedagingan saya, saya rasanya ingin berontak. Itu uang saya, itu tabungan saya setahun lebih bekerja! Saya juga sudah punya rencana untuk uang itu, dan rencana saya itu baik kok!
Tapi puji Tuhan rasa kasih lebih besar dari itu semua. Hukum perintah Allah yang ke 5: "Hormatilah ayah dan ibumu...." juga ngga bisa saya enyahkan dari pikiran saya. Didorong oleh iman, pengharapan, dan kasih lah yang membuat saya tidak segan ke ATM dan menuntaskan semuanya.
Yang keren adalah Tuhan bisa mengajak kita berbicara lewat apa aja. Dunia modern ngga membuat Tuhan kehilangan waktu dan tempat dan momen untuk ngajak kita komunikasi, asalkan kita mau membuka hati kita untuk diajak komunikasi. Tiga hari yang lalu (sehari sebelum saya membayar hutang), saya masih agak sedikit meratapi nasib saya. Lalu, saya jalan-jalan pagi di sekitar mess tempat saya diklat di Cepu. Saat itu saya melewati sebuah SD. Ada seorang anak, lengkap dengan seragam barunya,sulit disuruh masuk ke gerbang sekolah. Ibunya, bekerja sama dengan guru, membujuk mati-matian agar anaknya mau sekolah. Akhirnya si anak mau masuk ke kelas. Si ibu pun pulang dengan tersenyum sambil menggenjot sepedanya. Melihat scene singkat itu saya menangis. Bisa-bisanya saya merutuki nasib saya. Bisa-bisanya saya berpikir dua kali untuk membantu orang tua saya, padahal atas kasih Tuhan melalui kerja keras dan doa mereka lah saya bisa mendapatkan apa yang bisa saya dapatkan hingga sekarang. Ngga usah hitung pendidikan yang dibiayai, waktu yang mereka berikan untuk membesarkan saya, malam-malam dimana mereka ngga tidur waktu saya sakit, atau usaha mereka membuat saya hidup cukup di rumah.........ngga ternilai. Uang tabungan saya kini terasa cuma sangat kecil dibanding apa yang sudah mereka beri. Momen itu semakin memantapkan hati saya untuk melangkah ke ATM.
Firman Tuhan 1 Tesalonika 5:18 sangat hidup mulai hari itu. "Mengucap syukurlah dalam segala hal, sebab itulah yang dikehendaki Allah di dalam Kristus Yesus bagi kamu." Detik setelah saya keluar dari ATM saya merasa di-khotbah-i diri sendiri. Serasa ada yang sedang mengeksposisi FirTu itu dan membacakannya keras-keras di kepala saya.
Setelah mama sakit, kakak dan saya bisa dibilang terkuras....biaya, energi dan emosi terkuras habis krn bolakbalik PKU-JKT, jaga malam, dan iuran bulanan buat obat dan kontrol mama ke dokter. Untuk saya pribadi, sebagai anak berusia 24 tahun yang baru saja menapaki dunia karir, disaat kebanyakan teman saya menghabiskan gajinya untuk beli ini itu yang diinginkan mereka, saya mesti menyisihkan sebagian untuk saya kirim ke rumah. Disaat teman-teman saya menghabiskan tabungannya untuk liburan atau berinvestasi, uang tabungan saya terpotong signifikan karena mesti membiayai hutang Papa saya.
Dalam segala hal, San. Dalam segala hal. Bukan untuk segala hal. Kamu ngga bersyukur untuk pencobaan dan ujian yang terjadi. Kamu ngga bersyukur untuk sakit yang didera. Kamu ngga bersyukur untuk musibah yang ada. Kamu mengucap syukur di dalamnya.
Kamu mengucap syukur bahwa di dalam pencobaan dan ujian, kamu masih memiliki keluarga yang mengasihimu dan mengasihi Allah.
Kamu mengucap syukur bahwa di dalam sakit yang didera papa dan mamamu, membuatmu dan (mungkin) orang di sekitar kalian jadi mengingat Allah.
Kamu mengucap syukur bahwa di dalam musibah, ternyata masih banyak orang yang tulus peduli terhadap kamu.
Kamu mengucap syukur bahwa dalam kesulitan orang tuamu, kamu masih punya kesempatan untuk membuktikan kasih dan hormatmu sebagai anak kepada mereka.
Firman Tuhan 1 Tesalonika 5:18 sangat hidup mulai hari itu. "Mengucap syukurlah dalam segala hal, sebab itulah yang dikehendaki Allah di dalam Kristus Yesus bagi kamu." Detik setelah saya keluar dari ATM saya merasa di-khotbah-i diri sendiri. Serasa ada yang sedang mengeksposisi FirTu itu dan membacakannya keras-keras di kepala saya.
Setelah mama sakit, kakak dan saya bisa dibilang terkuras....biaya, energi dan emosi terkuras habis krn bolakbalik PKU-JKT, jaga malam, dan iuran bulanan buat obat dan kontrol mama ke dokter. Untuk saya pribadi, sebagai anak berusia 24 tahun yang baru saja menapaki dunia karir, disaat kebanyakan teman saya menghabiskan gajinya untuk beli ini itu yang diinginkan mereka, saya mesti menyisihkan sebagian untuk saya kirim ke rumah. Disaat teman-teman saya menghabiskan tabungannya untuk liburan atau berinvestasi, uang tabungan saya terpotong signifikan karena mesti membiayai hutang Papa saya.
Dalam segala hal, San. Dalam segala hal. Bukan untuk segala hal. Kamu ngga bersyukur untuk pencobaan dan ujian yang terjadi. Kamu ngga bersyukur untuk sakit yang didera. Kamu ngga bersyukur untuk musibah yang ada. Kamu mengucap syukur di dalamnya.
Kamu mengucap syukur bahwa di dalam pencobaan dan ujian, kamu masih memiliki keluarga yang mengasihimu dan mengasihi Allah.
Kamu mengucap syukur bahwa di dalam sakit yang didera papa dan mamamu, membuatmu dan (mungkin) orang di sekitar kalian jadi mengingat Allah.
Kamu mengucap syukur bahwa di dalam musibah, ternyata masih banyak orang yang tulus peduli terhadap kamu.
Kamu mengucap syukur bahwa dalam kesulitan orang tuamu, kamu masih punya kesempatan untuk membuktikan kasih dan hormatmu sebagai anak kepada mereka.
....dan sebelum saya menyadari, mulut saya otomatis menyanyikan lagu 'Bapa Engkau Sungguh Baik' outloud saat perjalanan pulang jalan kaki ke mess.
Hidup terlalu singkat untuk dihabiskan dengan mengeluh, lebih baik pakai waktunya untuk memikirkan solusi atas semua tantangan yang belum selesai dihadapi. Tantangan saya mungkin baru saja dimulai, dan masih panjang perjalananannya. I am still whining, btw. Yes, I am a human. Sometimes I need my time break to regain my spirit back.
Above all, di masa modern nan sibuk nan hedon nan materialistis ini, I still got my own miracle: I am still sane, happy enough, thankful enough, and may have the gut to outspeak what I've been through these days. Ada niatan buat diem-diem aja dalam hati. Simpen-simpen aja kesusahan dalam diri sendiri. Tapi entah mengapa rasanya sensasi hidup dalam kepasrahan sama Tuhan ini perlu banget dibagi. Toh hidup kita ini kitab terbuka yang hendaknya dibaca orang.
Mungkin kesusahan saya ga sebanding sama orang lain yang jauh lebih berat. Pasti ada yang lebih susah tantangannya dan lebih sabar dari saya. Saya cuma ingin berbagi saja, bahwa di masa serba modern ini ada solusi yang ga bisa dibeli, ga bisa diprediksi, ga bisa di-googling, atau ga bisa ditentukan timeline nya. Di dunia modern ini masih ada solusi yang datangnya dari Dia dengan bermodal berserah diri sepenuhnya. Solusi yang namanya mukzizat.
Wednesday, February 19, 2014
My Top 10 2014 resolutions
Honestly in early 2014, I didn't make my list of resolutions, which I used to make every year. My mind was too busy to think about resolutions while my sickness still haunted me and my job (ex-job actually) grabbed almost all my concentration.
Well, I hope today is not too late to make 2014 resolutions.
So, my top 10 resolutions are:
1.Be healthier
I really mean it. I want to emphasize the use of comparative verb in my wordings because I want to compare my physical condition in end of 2014 with my medical record in 2013.
2. Perform well at work
It means I want to do all responsibilities given well, and it is included with growing my enthusiast to learn as many as possible things those related (or will support) my job.
3. Be happy
happiness comes from inside. i am the one to choose whether I want to be happy or not.
This resolution includes: travelling at least once :)
4. Closer to God
people may leave me, but He will not.
5. start money-saving
I hope in 2015 I can start invest my money as a preparation for my master's fund. So let's keep the coins in!
6. respect time: be on time & obey my own-arranged schedule
2013 was a mess. lot's of time became wasted because I cannot control my activities -_-.
7. Neat and Tidy
it doesn't mean that I want my room becomes precisely like the photo (even I secretly wish, too). I just want to make all my surroundings, such as my spacework, my bedroom, my notebook, and other things are in neat condition. It is proven that messy bedroom could only make me more stressful.
8. Less emotional
no more useless crying or empty anger!
9. Read more books
I just wanna re-grow my bookworm DNA. This world is too small if I don't read books.
10. Learn new language(s)
Many people said that the ability to master foreign language(s) is a huge benefit to foster career. So, Deutsche and Japanese, why not?!
Those are my top 10 2014 resolutions. What's yours?
Well, I hope today is not too late to make 2014 resolutions.
So, my top 10 resolutions are:
1.Be healthier
I really mean it. I want to emphasize the use of comparative verb in my wordings because I want to compare my physical condition in end of 2014 with my medical record in 2013.
2. Perform well at work
It means I want to do all responsibilities given well, and it is included with growing my enthusiast to learn as many as possible things those related (or will support) my job.
3. Be happy
happiness comes from inside. i am the one to choose whether I want to be happy or not.
This resolution includes: travelling at least once :)
4. Closer to God
people may leave me, but He will not.
5. start money-saving
I hope in 2015 I can start invest my money as a preparation for my master's fund. So let's keep the coins in!
6. respect time: be on time & obey my own-arranged schedule
2013 was a mess. lot's of time became wasted because I cannot control my activities -_-.
7. Neat and Tidy
it doesn't mean that I want my room becomes precisely like the photo (even I secretly wish, too). I just want to make all my surroundings, such as my spacework, my bedroom, my notebook, and other things are in neat condition. It is proven that messy bedroom could only make me more stressful.
8. Less emotional
no more useless crying or empty anger!
9. Read more books
I just wanna re-grow my bookworm DNA. This world is too small if I don't read books.
10. Learn new language(s)
Many people said that the ability to master foreign language(s) is a huge benefit to foster career. So, Deutsche and Japanese, why not?!
Those are my top 10 2014 resolutions. What's yours?
Subscribe to:
Posts (Atom)